DIALEKSIS.COM | Aceh - Syahrul Maulidi SE.MSi, Ketua Umum DPP Inspirasi Keluarga Anti Narkoba (IKAN) Aceh, menyatakan keprihatinan mendalam atas temuan Badan Narkotika Nasional (BNN) bahwa 80.000 warga Aceh terpapar narkoba.
Dalam wawancara eksklusif, Syahrul menegaskan bahwa angka ini bukan sekadar statistik, melainkan darurat sistemik yang membutuhkan respons holistik dari pemerintah hingga masyarakat.
Syahrul menyoroti bahwa temuan BNN harus menjadi wake-up call bagi semua pihak. "Angka 80.000 bukan hanya bukti kegagalan penanggulangan, tapi juga cermin lemahnya pencegahan dan rehabilitasi di akar rumput," tegasnya kepada Dialeksis saat dihubungi, Kamis (31/7/2025).
Ia menambahkan, ketiadaan fasilitas rehabilitasi gratis di Aceh hingga 2021 memperparah situasi ini. Meski BNNK Bireuen kini mengklaim menyediakan layanan gratis, implementasinya masih perlu diawasi ketat.
Menurut Syahrul, keluarga adalah kunci dalam memutus mata rantai narkoba. "Program Inspirasi Keluarga Anti Narkoba (IKAN) fokus pada edukasi pencegahan sejak dini melalui pendekatan keagamaan dan psikososial," jelasnya.
Selanjutnya dirinya mendesak keluarga Aceh aktif melaporkan kasus penyalahgunaan ke BNN dan IKAN, serta menciptakan lingkungan yang mendukung pemulihan korban.
Syahrul mengkritik keras insiden korupsi di lingkungan penegak hukum, seperti kasus sipir Lapas Langsa yang melepaskan bandar narkoba tahun 2019. "Ini bukti system failure! Mutasi rutin petugas dan pengawasan eksternal wajib diterapkan untuk mencegah kolusi," tegasnya.
Syahrul mengapresiasi inisiatif BNNK Bireuen menyediakan rehabilitasi gratis di RSUDZA. Namun, ia menekankan bahwa layanan ini harus merata di seluruh Aceh, mengingat baru 10 kabupaten yang memiliki fasilitas BNN.
Dalam Bimtek Penggiat Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba (P4GN) di Sabang, Syahrul mendorong masyarakat menjadi agen perubahan.
"Setiap warga bisa jadi penggiat melaluin serangkaian kampanye di media sosial, edukasi bahaya narkoba di lingkungan, dan pendampingan korban," paparnya.
Kolaborasi BNN, pemerintah daerah, ormas, dan akademisi dinilai krusial. "BNN tidak bisa bekerja sendiri. Dukungan anggaran dan kebijakan dari pemda vital untuk memperkuat program P4GN," tambahnya.
Syahrul mengingatkan bahwa 80.000 korban harus dibaca sebagai, dampak sosial ekonomi. Maksudnya penurunan produktivitas generasi muda dan beban biaya kesehatan keluarga, kegagalan preventif ditunjukan minimnya program edukasi di sekolah dan komunitas rentan, serta pengaruh kuat dari lingkungan, dimana 70% pecandu di Aceh berasal dari kelompok usia 15“35 tahun yang terpengaruh pergaulan.
Solusinya diungkapkan Syahrul dapat dilakukan melalui memperluas jaringan kader anti-narkoba hingga tingkat desa, advokasi kebijakan rehabilitasi berbasis komunitas, dan sinergi dengan praktisi keagamaan untuk pendekatan moral - spiritual.
"Kami tidak akan menyerah. Setiap nyawa yang diselamatkan dari jerat narkoba adalah kemenangan bagi masa depan Aceh,” pungkasnya. [arn]