DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik status kepemilikan empat pulau di wilayah perbatasan Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat ke permukaan. Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh, A. Malik Musa, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Persaudaraan Barat Selatan Aceh (PBSA), angkat bicara menanggapi SK Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang dinilai memicu konflik wilayah tersebut.
Dalam pernyataannya dikirimkan kepada Dialeksis, Rabu 4 Juni 2025, 4 Juni 2025, Malik Musa menegaskan bahwa SK Mendagri yang menetapkan empat pulau yaitu Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Pulau Bras masuk ke wilayah administratif Sumatera Utara, telah mencederai prinsip dasar negara hukum. Ia meminta agar Pemerintah Aceh segera bersikap tegas terhadap keputusan itu.
“Setelah lembaga resmi negara dan tokoh-tokoh turun langsung ke lapangan dan melihat secara fisik keempat pulau tersebut, kalau benar secara fakta geografis dan historis berada dalam wilayah Aceh, maka Pemerintah Daerah Aceh perlu segera membentuk delegasi resmi untuk menemui Menteri Dalam Negeri dan meminta pencabutan kembali SK tersebut,” ujar Malik Musa kepada Dialeksis.
Menurutnya, secara hierarki peraturan perundang-undangan, tidak sepatutnya sebuah Surat Keputusan (SK) dari Mendagri mengalahkan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi.
“Ini jelas bertentangan dengan asas hukum. SK Mendagri itu tidak boleh mengalahkan Undang-Undang, karena dalam tatanan aturan negara hukum, ada prinsip bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan apalagi mengalahkan aturan yang lebih tinggi. Jangan sampai aturan diterapkan secara sewenang-wenang,” tegasnya.
Malik Musa juga menyebut bahwa SK tersebut secara yuridis batal demi hukum. Ia menilai isinya bertentangan dengan sejumlah aturan yang mengikat status keistimewaan Aceh, baik yang tertuang dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) maupun dalam Undang-Undang tentang Keistimewaan Aceh.
“Menurut pendapat saya, SK Mendagri tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan aturan di atasnya, baik dalam UUPA maupun UU Keistimewaan Aceh. Maka secara otomatis, SK itu tidak berlaku,” ujarnya.
Lebih jauh, Malik Musa mengingatkan bahwa polemik wilayah tidak boleh disikapi dengan pendekatan administratif semata. Ia menyarankan agar pemerintah pusat menggunakan pendekatan yang komprehensif, mencakup sejarah, sosial, budaya, dan hukum, dalam menentukan batas wilayah, terlebih jika menyangkut daerah yang memiliki kekhususan seperti Aceh.
Keempat pulau yang menjadi polemik ini terletak di kawasan perairan antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Sengketa bermula setelah diterbitkannya SK Mendagri yang menetapkan bahwa pulau-pulau tersebut masuk ke dalam wilayah administratif Sumatera Utara.
Masyarakat dan sejumlah tokoh di Aceh, termasuk akademisi, politisi, hingga aktivis, menilai keputusan itu tidak berdasar dan mengabaikan fakta-fakta historis dan geografis. Mereka menyebut keempat pulau tersebut selama ini berada dalam cakupan administrasi Aceh Singkil, dan berbagai data pendukung seperti peta lama, batas wilayah desa, serta dokumen administratif mendukung klaim itu.
Pemerintah Aceh sudah memberikan pernyataan sikap melalui Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Drs. Syakir, M.Si sudah menjelaskan detail melalui informasi dan dokumen yang menyatakan secara sah kepemilikan wilayah Aceh dapat dibaca melalui beritanya di Dialeksis berjudul,’ Kepala Biro Pemerintahan Aceh Ungkap Bukti Kepemilikan Empat Pulau yang Diklaim Sumut,’. Selanjutnya ia menyampaikan bersama tim Pemerintah Provinsi Aceh melalukan upaya advokasi ke pemerintah pusat.
Di sisi lain, sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti PBSA, Forum Pemerhati Perbatasan Aceh, dan sejumlah tokoh adat mulai menyuarakan desakan agar Pemerintah Aceh tidak diam. Mereka bahkan mewacanakan untuk mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Agung apabila SK Mendagri tidak segera dicabut.
A. Malik Musa pun menegaskan bahwa PBSA akan tetap mengawal isu ini secara konsisten. “Kami tidak akan diam. Jika perlu, kita bawa masalah ini ke tingkat nasional. Kita harus lawan segala bentuk keputusan yang mengangkangi hak-hak konstitusional rakyat Aceh,” katanya.
Malik berharap Mendagri dan pemerintah pusat membuka ruang dialog dan transparansi dalam proses penentuan batas wilayah, bukan hanya dengan pendekatan administratif yang kering dari nilai-nilai keadilan.