Kisah Romantis Aceh - Malaysia yang Terulang
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Almuniza Kamal, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. [Foto: Disbudpar Aceh]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Terbetik kabar bahwa Muzakir Manaf menikahkan putri sulungnya, Zaslyana dengan warga Malaysia bernama Khairy Al-Fiqry.
Tak ada yang tahu, bagaimana kisah cinta yang kini berujung pernikahan, yang resepsinya digelar 1 Februari 2025 di Kuala Lumpur.
Tentu lah kisah cinta yang indah. Tapi, yang jelas tidak seperti kisah cinta yang pernah terjadi di masa lalu, nan jauh.
“Ini, kisah berulang, jika doeloe, Sultan Aceh mempersunting Putroe Pahang, kini putri orang nomor satu di Aceh yang dipersunting oleh warga Malaysia. Ini memperkuat hubungan romantis antara Aceh - Malaysia,” kata Almuniza Kamal, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Jumat (31/1/2025).
Dikisahkan, Sultan Iskandar Muda mempersunting seorang gadis cantik dari Negeri Pahang, Malaysia, sebagai permaisurinya. Nama Sang Putri dari seberang itu adalah Putri Kamaliah yang populer dengan gelar ‘Putroe Phang’.
Sang putri pun diboyong ke Aceh, dan diberi tempat istimewa di Istana Darul Dunya, kediaman sultan. Namun, rindupun menyergap hati Sang Putri setelah sekian lama berpisah dari kampung halamannya, yaitu Pahang.
Putri sulung Mualem, Zaslyana akan menikah dengan warga Malaysia bernama Khairy Al-Fiqry. [Foto: Nurlis Effendi]
Tentu saja Sang Sultan tidak bisa berdiam diri. Melihat istrinya gundah gulana disergap rindu, dibangunlah sebuah gunung kecil yang diberi nama “Gunongan” di tengah Taman Ghairah, yang menjadi bagian dari Taman Istana.
Apa yang dilakukan oleh Sultan Aceh itu laksana Taj Mahal di India yang dibangun dengan penuh rasa cinta oleh Mughal Syah Jehan bagi Mumtaz-Ul-Zamani.
“Gunongan juga bukti cinta Sultan Iskandar Muda kepada permaisurinya itu, yang ternyata cukup untuk membuat hati permaisuri Sultan bahagia,” tambah Almuniza.
Setiap hari, Gunongan menjadi saksi dari keceriaan Sang Putri bermain bersama dayang-dayang di sekitarnya, sambil memanjatinya.
Hubungan Aceh - Malaysia jelas bukan hanya mengukir kisah cinta. Tapi, ada banyak peristiwa yang cukup untuk melihatnya dari sisi romantisme sejarah.
Mengutip Iskandar Norman di Quora, Aceh pernah membebaskan semenanjung Melayu dari jajahan Portugis.
Aceh juga disebut pernah sangat berkuasa di negeri jiran tersebut. Buktinya, permaisuri Sultan Iskandar Muda raja yang paling kesohor di Aceh merupakan orang Pahang (Malysia) Putroe Phang alias Putri Pahang.
“Kemudian, ketika Aceh didera konflik bersenjata, Malaysia menjadi basis ke dua Gerakan Aceh Merdeka (GAM),” tulis Iskandar Norman.
Ditambahkan, hubungan Aceh dengan Malaysia sudah sangat harmonis sejak ratusan tahun silam. Baik hubungan politik maupun perdagangan. Sebelum Indonesia merdeka, para pengusaha Aceh sudah sangat eksis di Malaysia. Mereka mendirikan badan usaha “Sabena” yang bermakna selalu ada.
Badan usaha tersebut tidak hanya mengurus soal bisnis dan perdagangan, tapi juga menerbitkan buku-buku dan majalah tentang Aceh. Menariknya, buku-buku itu ditulis dalam bahasa Aceh dengan terjemahan bahasa Melayu.
Pada masa Portugis dan Belanda memperluas kekuasaanya ke semenanjung Malaysia. Aceh dikenal gigih menentang penjajahan barat. Labuhan Aceh atau Miley Town, di bagian selatan Pulau Penang, merupakan daerah yang sering dijadikan pintu masuk pejuang dan pedagang Aceh ke Malaysia.
“Pada abad ke 18, saudagar-saudagar dari Aceh datang ke Malaysia untuk urusan dagang dan diplomasi,” sebutnya lagi.
Kala itu, tambah Norman, Tengku Sayed Husein al-Aidid, merupakan salah seorang saudagar Aceh yang sangat terkenal dikalangan orang Aceh di Pulau Penang. Ia hijrah dari Aceh ke Pulau Penang, sebagai pedagang rempah-rempah.
Memasuki abad ke 19, saudagar-saudagar Aceh mulai menggunakan sungai Penang sebagai pelabuhan, untuk mengangkut hasil pertanian seperti kopra, kopi, karet dan komiditi lainnya dari Aceh. Pulau Penang pun sejak saat itu menjadi pusat ekspor impor komoditi dari Aceh dan Sumatera. Para saudagar Aceh dalam menjalankan bisnis dagangnya, menggunakan kapal Malaysia Raya.
Gunongan. [Foto: tripadvisor]Di kawasan itu pula, Teungku Sayed Husein al Aidid, pada tahun 1808 mendirikan sebuah mesjid, yang dikenal dengan mesjid Melayu. Ia meninggal pada tahun 1820-an, dan dikuburkan di komplek mesjid tersebut. Keluarganya juga dikuburkan di komplek itu.
Saudagar Aceh lainnya adalah Sayed Muhammad al Attas. Pada tahun 1860-an, ia mendirikan Rumah Agama Sayed al Attas. Masa hidupnya, al Attas mempunyai dua orang istri. Istri pertamanya merupakan kerabat keluarga Diraja Melayu. Sementara istri keduanya adalah anak dari Khoo Tiang Poh, seorang saudagar lada hitam dari Cina Selatan.
Pada masa perjuangan rakyat Aceh menentang Belanda, Sayed Muhammad al Attas mengalang sejumlah bantuan untuk pejuang Aceh. Pada tahun 1880-an, dari Malaysia ia mengirim senjata untuk pejuang Aceh. Rumahnya pun, sering dipakai sebagai markas atau tempat pertemuan rahasia para pejuang Aceh, baik dalam menggalang diplomasi luar negeri, maupun mencari perbekalan senjata.
Terakhir, tulis Norman Generasi Aceh selanjutnya, ada P Ramlee yang sampai kini masih fenomenal di Malaysia. Seniman asal Aceh Utara ini malah mendapat gelar kehormatan Tan Sri dari pemerintah Malaysia, karena dedikasinya dalam mengembangkan seni di negeri jiran itu. [ra]