Beranda / Berita / Aceh / Kondisi Aceh Pasca Konflik: Tantangan Pemulihan yang Belum Usai

Kondisi Aceh Pasca Konflik: Tantangan Pemulihan yang Belum Usai

Kamis, 27 Februari 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Koalisi NGO HAM Aceh dikuti oleh puluhan Mahasiswa dari berbagai Universitas dengan tema "Penguatan Perdamaian dan Reintegrasi Pasca Konflik Aceh" di Morden Cafe pada Rabu (26/02/2025). Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Koalisi NGO HAM, Khairil Arista, menyoroti kondisi Aceh pascakonflik dan bencana yang masih meninggalkan dampak mendalam bagi masyarakat. 

Menurutnya, dua faktor utama yang membentuk kondisi Aceh saat ini adalah konflik berkepanjangan dan bencana besar, yang keduanya telah mengganggu berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Hal tersebut diungkapkan pada Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Koalisi NGO HAM Aceh dikuti oleh puluhan Mahasiswa dari berbagai Universitas dengan tema "Penguatan Perdamaian dan Reintegrasi Pasca Konflik Aceh" di Morden Cafe pada Rabu (26/02/2025). 

"Kondisi konflik belum sepenuhnya pulih. Peristiwa masa lalu masih menjadi paradigma dalam menjalani kehidupan di Aceh," ujar Khairil.

Ia menekankan bahwa generasi sebelumnya tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan, yang memengaruhi cara masyarakat beradaptasi dengan perdamaian saat ini.

Dalam sektor pendidikan, Khairil mengungkapkan meskipun saat ini sekolah tidak lagi jadi sasaran pembakaran seperti di masa konflik, namun saat ini tidak semua anak memiliki akses pendidikan yang memadai.

Sementara itu, dibidang kesehatan, ia mengkritik anggapan bahwa membangun rumah sakit sudah cukup untuk memastikan akses kesehatan bagi masyarakat. 

"Perdamaian bukan sekadar membangun gedung, tetapi juga membangun pengetahuan, budaya nalar, dan pola pendidikan yang mencerahkan," tegasnya.  

Menurutnya, trauma akibat konflik masih berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat Aceh. Hal ini termasuk dalam dunia kerja, di mana para penyintas membawa memori masa lalu yang dapat memengaruhi cara mereka beradaptasi dalam kondisi normal saat ini. 

"BRA (Badan Reintegrasi Aceh) seharusnya memberikan ruang kompensasi bagi korban, bukan hanya dalam bentuk nominal, tetapi juga melalui pendekatan pemulihan yang lebih manusiawi," paparnya.

Sementara itu Aktivis perempuan dari Flower Aceh, Putri Handika yang menjadi pemateri dalam kegiatan tersebut memaparkan pentingnya pemulihan bagi masyarakat Aceh pasca konflik. Menurutnya, masyarakat Aceh telah melewati berbagai bentuk kekerasan dari masa ke masa, namun tetap menunjukkan ketahanan luar biasa.  

"Orang Aceh telah melalui banyak ritual kekerasan, tetapi mereka tetap kuat. Tidak ada yang mengalami gangguan jiwa atau menjadi labil. Namun, dalam proses reintegrasi pasca konflik, pemulihan seharusnya tidak hanya berfokus pada korban, tetapi juga pada para pekerja pemulihan itu sendiri," ujar Putri Handika.  

Ia menegaskan bahwa pekerja kemanusiaan yang terlibat dalam pemulihan korban juga membutuhkan dukungan. Jika mereka tidak dipulihkan, ada risiko cedera moral yang bisa berulang dan bahkan berpotensi menjadikan mereka pelaku di masa depan.  

"Pemulihan individu sangat penting. Kami melakukan itu dengan mendorong individu untuk menghargai diri sendiri dan menggali potensi mereka. Korban konflik, misalnya, kami dorong untuk menyadari kemampuan mereka agar tidak bergantung pada orang lain, tetapi pada kekuatan diri sendiri," lanjutnya.  

Pada kesempatan yang sama Jufri yang juga sebagai pemateri dalam kegiatan FGD tersebut memaparkan Proses pemulihan korban konflik Aceh masih menjadi tantangan besar. 

Ia aktivis yang mengalami langsung masa konflik, mengakui bahwa dendam merupakan hal yang niscaya dalam situasi tersebut.  

"Dendam itu memang ada, dan saya sendiri menjadi aktivis hari ini karena dorongan itu. Namun, saya menyadari bahwa perjuangan harus lebih logis dan konstruktif," ujarnya.  

Jufri menceritakan bahwa komunitasnya pernah berupaya mendirikan rumah singgah bagi korban konflik untuk saling menguatkan. Namun, pada awalnya, upaya tersebut belum memiliki metode yang terarah, sehingga hanya menjadi tempat berbagi kesedihan. "Kami sadar bahwa korban tidak sendirian, dan yang penting adalah bagaimana kita bisa saling menguatkan dan mencari jalan keluar bersama," tambahnya.  

Jufri menekankan pentingnya terus menyuarakan kondisi korban, meskipun program yang ada masih bersifat simbolis. "Kepercayaan diri korban harus dibangun, karena mereka adalah bagian penting dalam proses perdamaian dan reintegrasi. Tujuannya jelas, agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI