DIALEKSIS.COM | Aceh - Belum usai riuh sengketa pulau, bumi Serambi Mekkah kembali memanas. Kali ini, perdebatan sengit menyasar sejarah suci perdamaian: siapa sebenarnya yang duduk mewakili Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di meja Perjanjian Helsinki 2005? Kontroversi yang menggelinding dari diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) tersiarkan pada tanggal 20 Juni 2025 menyebar ke ruang publik, mengusik ingatan kolektif tentang momen bersejarah tersebut.
Pemicunya adalah pernyataan Prof. Dr. Hamid Awaluddin, Ketua Tim Perunding Pemerintah Indonesia kala itu. Dalam acara ILC, Hamid secara terbuka mempertanyakan kehadiran Munawar Liza Zainal sebagai anggota tim perunding GAM di Helsinki. "Soalnya saya tidak pernah melihat Bapak selama perundingan," ujar Hamid, sebagaimana dikutip dalam perbincangan tersebut. Pernyataan ini langsung menyulut reaksi.
Tanggapan keras bermunculan di platform media sosial, khususnya Facebook. Risman Rachman, mantan aktivis dan menjadi peggiat literasi salah satu pengguna, mendesak politikus Aceh Nasir Djamil untuk menyampaikan nota protes kepada Wakil Presiden RI periode 2004 - 2009, Jusuf Kalla, atas pernyataan Hamid yang dianggapnya mengganggu Munawar Liza.
"Penegasan Hamid Awaluddin bahwa 'soalnya saya tidak pernah melihat Bapak selama perundingan' justru makin tidak enak dan melanggar prinsip dignity yang dipegang oleh Pak JK," tulis Risman dengan nada kecewa.
Ia menambahkan pesan simbolis yang kuat, "Tuan boleh menyembunyikan peta batas negeri kami sebab kami masih punya peta ingatan, tapi Tuan jangan pernah merobek peta harga diri kami, sebab itu kami susun dari himpitan sejarah yang panjang."
Suara lain datang dari Herman RN akademisi sekaligus budayawan. Ia mengingatkan bahwa persoalan empat pulau yang sebelumnya memanas seharusnya sudah selesai setelah pencabutan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun, kenyataannya, "luka dari Jakarta belum juga tuntas," ujarnya.
Herman mempertanyakan maksud Hamid Awaluddin meragukan sosok Munawar Liza Zainal. "Kami seluruh rakyat Aceh kenal Bang Munawar sebagai anggota juru runding," tegasnya.
Ia justru melihat pernyataan Hamid membuka kedok niat sebenarnya,"Ternyata sejak lama, Hamid menginginkan Aceh menyerah, bukan berdamai. Ini benih perang yang mulai disenandungkan."
Peringatan keras disampaikan Herman mengingat sejarah panjang perlawanan Aceh,"Ingat, rakyat Aceh sudah teruji dalam perang melawan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Jangan pula Jakarta mencoba menantang." Pesannya menutup dengan metafora tegas, "Sebelum kayu jadi arang, sebaiknya padamkan bara itu!"