kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / KPPAA: Dua Pasal Dalam Qanun Jinayat Sangat Layak Dicabut

KPPAA: Dua Pasal Dalam Qanun Jinayat Sangat Layak Dicabut

Jum`at, 22 Oktober 2021 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizky

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih. [Foto: Dialeksis/Ahmad]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wakil Ketua Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih mengatakan dua pasal berkaitan dengan hukuman bagi pelaku pemerkosa dan pelecehan anak sangat layak dicabut dan dikembalikan saja kepada Kewenangan Negeri. 

Ayu menyampaikan bagi pemerhati anak itu sebenarnya urgensi adalah melakukan revisi terhadap Qanun Jinayat, karena kenapa? dalam beberapa pasal yang diatur dalam Qanun Jinayat itu terutama untuk pasal 47 tentang Pelecehan Anak dan pasal 50 tentang Pemerkosaan Anak. Dua pasal itu kata Ayu seharusnya direvisi.

“Kalau pun tidak direvisi itu sangat layak untuk dicabut sehingga kewenangan mengadili kasus-kasus anak itu kita kembalikan ke Pengadilan Negeri,” ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Jumat (22/10/2021).

Ayu mengangap bahwa 2 pasal inilah yang bermasalah, di mana anak yang awalnya menjadi korban begitu dilakukan BAP di situ juga ada unsur pengakuan, jadi si anak itu bisa jadi dijatuhkan dengan pengakuan zina, anak yang awalnya menjadi korban kemudian jadi pelaku, dia juga akan ikut ditahan.

“Kita melihat akan seperti apa anak-anak di Aceh yang usianya masih sangat muda, entah itu ditahan atau dipenjara maka label-label ini akan melekat pada dia seuumur hidup,” ujar Ayu.

“Maka sebaiknya pasal ini dicabut dan dikembalikan saja kepada Kewenangan Negeri untuk mengadili perkara-perkara anak sehingga berlakulah khusus Undang-Undang Tingkat Nasional yaitu UU Perlindungan Anak sehingga kita juga bisa menyelamatkan anak-anak Aceh dari kriminalisasi di Aceh,” tegasnya.

Kata Ayu Aceh itu memiliki kekhususan, ada juga diamanahkan dalam UU Pemerintah Aceh, dimana kekhususan itu mengatur beberapa Qanun atau Peraturan Daerah di tempat lain, salah satunya adalah Qanun Hukum Jinayat Nomor 16 tahun 2014, peraturan yang ada dalam Qanun tersebut mengeyampingkan UU anak di tingkat Nasional, contohnya UU Perlindungan Anak. 

Untuk kasus-kasus kekerasan anak yang diatur dalam UU Anak tidak bisa digunakan di dalam Provinsi Aceh karena telah diatur dalam regulasi khusus yaitu Qanun Jinayat, jadi semua yang diatur dalam Qanun Jinayat itu semua harus menggunakan Qanun Hukum Jinayat. 

Ayu juga menyebutkan bahwa pada awal mulanya implementasi Hukum Jinayat banyak didominasi hukuman cambuk sehingga muncullah gebrakan atau aksi protes dari masyarakat, elemen sipil peduli anak, dan lainnya yang mempertanyakan kenapa banyak pelaku itu dicambuk apalagi untuk kekerasan seksual? setelah dicambuk pelaku akan dibebaskan dan kemudian bertemu lagi dengan korban.

“Disini rasanya kita melihat bahwa itu belum memberikan perlindungan dan keadilan bagi anak, belum lagi sembuh traumanya sudah bertemu lagi dengan pelaku, belum lagi cemoohan yang dilontarkan oleh sejumlah orang kepadanya,” lanjutnya.

Ayu menambahkan akhir-akhir ini dikejutkan dengan kasus-kasus kekerasan sexsual anak yang di tingkat pertama itu pelaku misalnya dihukum 16 tahun penjara tapi di tingkat banding ada yang 3 tahun dibebaskan, nah ini juga menjadi pertanyaan besar baginya. 

Kenapa Pengadilan Mahkamah Syariah Aceh (MSA) itu bisa membebaskan pelaku yang notabenenya ayah kandung sendiri atau orang terdekat dengan korban? Ternyata setelah dipelajari isi keputusan sangat disayangkan karena di dalam Qanun Jinayat itu salah satunya "siapa saja yang menjadi korban pemerkosaan pelecehan seksual itu harus menunjukkan alat bukti, salah satu alat bukti adalah keterangan sumpah". 

Katanya dalam hal ini kasusnya anak, anak ini juga bervariasi umurnya, kalau dalam sumpah pidana sumpah anak itu diragukan, ngak bisa dipegang, nah ini menjadi salah satu pertimbangan hakim, selain itu hakim juga menilai keterangan anak itu berbeda-beda sehingga beranggapan ada penggiringan isu dari pendamping atau pengacara korban.

“Sebenarnya perspektif-perspektif ini yang sangat disayangkan dari penegak hukum kita, belum lagi di tingkat nasional, itu yang mengadili perkara-perkara kasus kekerasan terhadap anak itu adalah ranahnya Pengadilan Negeri karena mereka sudah cukup sumber daya manusia, sarana dan prasarananya itu memadai dibandingkan dengan Mahkamah Syariah yang ada di Aceh," jelasnya lagi. 

Ia menambahkan, kalau di tempat lain itu Mahkamah Syariah dengan Pengadilan Agama hanya berwenang mengadili perkara-perkara perdata tapi kalau di Aceh uniknya selain perkara perdata, 10 perkara Jinayat itu menjadi kewenangan Mahkamah Syariah, ini kita liat juga agak timpang ya. 

“Kalau di UU Perlindungan anak itu dia sudah jelas memang, sangat disayangkan anak-anak Aceh yang seharusnya dilindungi malah tidak terlindungi karena sistem hukum kita yang masih belum memiliki perspektif Perlindungan Anak,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda