Beranda / Berita / Aceh / Krisis Dokter Onkologi, Aceh Butuh Rumah Sakit Vertikal

Krisis Dokter Onkologi, Aceh Butuh Rumah Sakit Vertikal

Selasa, 26 November 2024 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi
Dr. dr. Safrizal Rahman, M.Kes., Sp.OT., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (USK) sekaligus Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Aceh. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, menyatakan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis serius terkait kekurangan dokter spesialis onkologi

Hal ini berdampak langsung pada penanganan kanker yang kurang optimal di berbagai wilayah, terutama di luar Pulau Jawa. 

Merespons hal tersebut, Dr. dr. Safrizal Rahman, M.Kes., Sp.OT., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (USK) sekaligus Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Aceh, mengatakan bahwa permasalahan utama tidak hanya terletak pada jumlah tenaga medis yang masih jauh dari cukup, tetapi juga distribusinya yang sangat timpang. 

“Sebagian besar tenaga medis, termasuk dokter spesialis, terkonsentrasi di Pulau Jawa. Ini membuat daerah-daerah di luar Jawa, seperti Aceh, mengalami kesenjangan akses terhadap layanan kesehatan yang memadai,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Selasa (26/11/2024).

Ia menambahkan bahwa dokter spesialis onkologi, baik bedah maupun non-bedah, umumnya hanya tersedia di kota-kota besar. Hal ini karena faktor distribusi pekerjaan yang seringkali dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi. 

“Kesejahteraan dokter di daerah harus diperhatikan agar mereka mau bekerja di wilayah yang membutuhkan,” lanjutnya.

Sebagai pemimpin di salah satu institusi pendidikan kesehatan terkemuka di Aceh, Dr. Safrizal menegaskan pentingnya peran universitas dalam mendukung kebijakan pemerintah.

“Kami berharap pemerintah memberikan kemudahan bagi institusi pendidikan untuk membuka program studi spesialis, termasuk onkologi. Dengan pelonggaran regulasi dan peningkatan daya tampung, kami bisa membantu mencetak lebih banyak dokter spesialis yang dibutuhkan,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti perlunya pembiayaan dan infrastruktur yang memadai untuk mendukung pendidikan dokter spesialis. Dengan demikian, proses pembelajaran bisa berjalan optimal dan menghasilkan tenaga medis yang kompeten.

Dr. Safrizal menekankan bahwa masalah ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Ia mengusulkan agar setiap kabupaten di Aceh memiliki pusat layanan unggulan untuk menangani penyakit tertentu, termasuk kanker. 

“Misalnya, satu kabupaten bisa menjadi pusat pelayanan onkologi, sementara kabupaten lainnya fokus pada kardiovaskular. Dengan pembagian seperti ini, layanan kesehatan bisa lebih efektif dan merata,” jelasnya.

Selain itu, ia juga mengusulkan pembangunan rumah sakit vertikal di Aceh. Rumah sakit ini diharapkan menjadi pusat rujukan dengan dukungan teknologi dan peralatan modern yang disuplai oleh pemerintah pusat. 

"Aceh sangat membutuhkan rumah sakit vertikal untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan akses masyarakat terhadap teknologi medis terbaru,” tambahnya.

Kekurangan dokter onkologi di Indonesia memang menjadi tantangan besar. Namun, dengan kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan institusi pendidikan, solusi dapat dirumuskan. 

Program fellowship yang digagas Kementerian Kesehatan merupakan salah satu langkah awal yang baik, namun tidak cukup tanpa perencanaan jangka panjang untuk memperbaiki distribusi tenaga medis.

“Sebagai langkah konkret, kita juga perlu mendorong masyarakat dan pemerintah daerah untuk aktif mendukung pendidikan kesehatan. Investasi ini tidak hanya untuk hari ini, tetapi untuk masa depan layanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutup Dr. Safrizal.[nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda