DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik pembayaran royalti musik untuk hotel, restoran, dan kafe kembali mencuat ke permukaan.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai aturan yang ada masih belum jelas dan berpotensi menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha.
General Manager Kyriad Muraya Hotel Aceh, Bambang Pramusinto, ikut memberikan tanggapan terkait isu yang belakangan ramai diperbincangkan.
Ia menegaskan, pihaknya memilih langkah aman dengan tidak memutar musik sama sekali di area hotel, baik di koridor, restoran, maupun lobi.
“Kalau memang tidak mau bayar, ya jangan setel musik. Itu intinya. Jadi, kecuali kalau memang mau bayar ya silakan. Tapi kalau tidak, ya kita silent. Seperti sekarang, di hotel kami tidak ada musik sama sekali,” ujar Bambang kepada Dialeksis.com, Selasa (19/8/2025).
Sebagai informasi, kewajiban pembayaran royalti musik secara komersial diatur dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016.
Dalam aturan tersebut, pelaku usaha diwajibkan membayar royalti kepada dua pihak. Pertama, Royalti Pencipta sebesar Rp60 ribu per kursi per tahun. Kedua, Royalti Hak Terkait dengan nilai yang sama.
Artinya, setiap kursi di restoran maupun kafe dikenakan biaya Rp120 ribu per tahun untuk penggunaan musik secara komersial.
Skema inilah yang kemudian menimbulkan keberatan sejumlah pengusaha karena dianggap belum seragam dan masih menimbulkan tafsir berbeda.
Ketua PHRI, Haryadi B. Sukamdani, sebelumnya menyebut bahwa tarif royalti yang berlaku saat ini tidak seragam dan terkesan terlalu bervariasi. Ia menekankan perlunya kepastian hukum yang jelas agar pelaku usaha dapat mematuhinya tanpa kebingungan.
Bambang menegaskan, hotel pada prinsipnya siap mematuhi aturan selama undang-undang yang mengatur benar-benar jelas dan tidak abu-abu.
“Kalau sudah undang-undangnya clear, anjuran pemerintah clear, ya kita akan ikutin. Misalnya dari situ terlihat apa langkahnya. Tapi sekarang, kami masih menunggu. Karena belum ada jaminan kepastian,” ungkapnya.
Menurutnya, kejelasan regulasi sangat penting agar tidak terjadi interpretasi berbeda di lapangan. Ia mencontohkan, meski ada musik yang bersifat gratis seperti suara alam atau instrumen bebas royalti, pihak hotel tetap tidak berani memutar karena khawatir dianggap melanggar.
“Even itu suara binatang, suara alam pun juga, misalkan lagi dinur (diputar), tetap tidak boleh. Jadi kami ambil sikap tegas: tidak pasang musik apapun sampai semuanya jelas,” katanya.
Bambang menilai, pada dasarnya permintaan pencipta lagu untuk memperoleh royalti adalah hal yang wajar dan sah secara hukum.
Namun, yang paling penting menurutnya adalah mekanisme pembayaran yang harus transparan dan tidak memberatkan pelaku usaha di tengah situasi ekonomi yang masih sulit.
“Royalti ini sah-sah saja. Cuma tinggal teknisnya bagaimana itu dibayarkan, transparan. Jangan sampai menyulitkan. Karena situasi sekarang sudah sulit, ditambah lagi aturan ini bisa bikin makin sulit,” ujarnya.
Ia menambahkan, kebijakan pemerintah diharapkan mampu memberikan win-win solution, baik bagi pelaku usaha maupun pencipta lagu yang berhak mendapatkan apresiasi dari karya mereka.
“Intinya, kami tunggu regulasi yang tegas dan seragam. Kalau memang wajib, ya kita laksanakan. Tapi sekarang, yang paling penting jangan sampai membebani usaha yang sedang bertahan,” tutup Bambang. [nh]