DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di Aceh, warung kopi bukan sekadar tempat duduk dan menyeruput. Ia adalah ruang sosial, ruang wacana, dan kadang--ruang advokasi.
Leuser Coffee, yang didirikan oleh Danurfan, menjelma menjadi simpul dari tiga hal yang jarang bersatu: kopi, lingkungan, dan keacehan.
Tentu saja ada banyak warung kopi lain di Aceh. Seperti di Ulee Kareng dan diberbagai lokasi lain di Banda Aceh. Karena itu tidak berlebihan jika Aceh dsebut sebagai Negeri Seribu atau Sejuta Warung Kopi.
Apa yang menarik di warung kopi yang beralamat di Jalan T Panglima Nyak Makam No. 108, Lampineung, Banda Aceh?
Itu karena Leuser Coffee mengintegrasikan dirinya dengan kemajuan teknologi informasi, sehingga warung bukan sekedar tempat meneguk kopi tapi juga berbagi pengetahuan. Berikut contohnya:
Danurfan menyuarakan harapan Dina Auliana dari puncak Burni Klienten yang sederhana tapi dalam:
“Semoga petani kopi Gayo semakin sejahtera, hutan lestari dan terjaga, konsumen bisa ngopi bahagia.” Di balik paket Leuser Coffee yang dibentangkan di atas kain merah, terbentang lanskap pegunungan yang menjadi rumah bagi ekosistem Leuser--paru-paru Aceh dan simbol harapan ekologis.
Dari situ publik tahu bahwa kopi Gayo yang disajikan di Leuser Coffee bukan sekadar hasil panen, tapi jejak dari agroforestri yang menjaga hutan tetap hidup.
Setiap cangkir adalah pengingat bahwa kenikmatan konsumen tak boleh lepas dari kesejahteraan petani dan kelestarian alam.
Dalam unggahan lain, Danurfan terlihat duduk dengan mantan Deputi Direktur Walhi Aceh di teras warung Leuser Coffee.
Mereka berbincang tentang permasalahan lingkungan dan potensi sumber daya alam Aceh.
Itu jelas bukan pertemuan formal, tapi justru di ruang informal seperti inilah wacana keacehan sering menemukan bentuknya yang paling jujur.
Leuser Coffee menjadi ruang di mana isu-isu besar--dari deforestasi hingga pertambangan rakyat, dari konservasi hingga kebijakan energi--dibahas dengan santai tapi serius.
Di sini, kopi menjadi medium diskusi, bukan sekadar minuman.
Leuser Coffee adalah contoh bagaimana warung kopi bisa menjadi ruang transisi sosial. Ia menggabungkan tradisi minum kopi Aceh dengan kesadaran ekologis dan advokasi publik.
Terkini, dari Leuser Coffee juga diperkenalkan sebuah buku berjudul “Kisah Gajah Sumatera”. Buku karya Junaidi Hanafiah ini disebut menjadi rekam jejak tentang kondisi lingkungan dan populasi Gajah yang hanya tertinggal kurang lebih 1500an di sumatra saat ini.
“Hilangnya populasi diakibatkan perburuan gading, oerambahan habitat dan konflik antara manusia dan gajah,” rulis Danurfan di akunnya.
Oleh Danurfan, buku ini disebut menjadi aset penting untuk anak cucu kita jika suatu saat Gajah yang disebut Po Meurah atau Tengku Rayeuk benar benar punah dan hilang bahwa kita pernah memiliki satwa terbesar dimuka bumi.
Di tengah hiruk-pikuk politik dan birokrasi, tempat ini menawarkan jeda yang produktif: ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan merumuskan ulang aroma dan rasa keacehan agar se-asli aroma dan rasa kopi Gayo, Aceh. [rr]