Sabtu, 04 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Listrik Aceh Padam karena PLTU Nagan Raya Rusak, Energi Terbarukan Jadi Harapan

Listrik Aceh Padam karena PLTU Nagan Raya Rusak, Energi Terbarukan Jadi Harapan

Jum`at, 03 Oktober 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Al-Washliyah (PD GPA) Aceh Barat, Muhammad Fawazul Alwi atau yang akrab disapa Awie. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemadaman listrik yang melanda Aceh selama tiga hari terakhir akibat gangguan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya.

Ketua Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Al-Washliyah (PD GPA) Aceh Barat, Muhammad Fawazul Alwi atau yang akrab disapa Awie, mengatakan bahwa kejadian ini menjadi bukti nyata bahwa energi fosil tidak dapat diandalkan untuk jangka panjang.

Menurut Awie, PLTU bukan hanya rapuh dan penuh risiko, tetapi juga meninggalkan dampak lingkungan yang serius.

“Yang harus diperjelas adalah PLTU harus pensiun dini. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada energi kotor. Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas mengganti dengan energi terbarukan yang berbasis masyarakat,” tegasnya saat dihubungi media dialeksis.com, Kamis, 2 Oktober 2025.

Ia menambahkan, pemerintah Aceh seharusnya tidak lagi menjadikan PLTU sebagai tumpuan utama pasokan listrik daerah. 

Sebaliknya, langkah strategis harus segera diambil dengan mempensiunkan dini PLTU dan beralih kepada energi terbarukan yang berbasis pada potensi lokal dan masyarakat adat.

“PLTU sudah terbukti rapuh dan tidak berkelanjutan. Saatnya Aceh serius mengembangkan energi terbarukan yang membuahkan manfaat langsung bagi masyarakat adat. Potensi kita sangat besar, mulai dari mikrohidro, energi angin, hingga panas surya,” jelas Awie.

Tak hanya menyasar pemerintah, Awie juga melontarkan kritik keras terhadap PLN yang dinilainya hanya bisa bersembunyi di balik kata maaf. 

Menurutnya, masyarakat berhak mendapatkan kompensasi nyata atas kerugian yang dialami akibat listrik padam berhari-hari.

Ia mengingatkan, sesuai aturan Permen ESDM Nomor 27 Tahun 2017, pelanggan berhak menerima kompensasi apabila terjadi gangguan pelayanan listrik. 

Besarannya bervariasi, mulai dari 20 persen hingga 35 persen dari biaya beban atau rekening minimum, bahkan bisa mencapai 500 persen jika pemadaman melewati batas waktu toleransi, yaitu lebih dari 40 jam di atas TMP.

Ia melihat pula soal sistem interkoneksi kelistrikan yang berlaku di Aceh. Menurutnya, meski Aceh memiliki PLTU dan PLTA yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan lokal, aliran listrik justru lebih banyak ditarik terlebih dahulu ke Medan sebelum dialirkan kembali ke Aceh.

“Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat yang merasa dianaktirikan. Apakah pemadaman ini ditunggangi pihak kuat sebagai balasan telak atas polemik minggu kemarin?” sindirnya.

Awie mendesak agar isu pemadaman listrik tidak dipelintir menjadi sentimen lain, melainkan harus ditangani secara profesional. 

“Masyarakat Aceh sudah cukup sabar. Tapi sabar ada batasnya. Sampai kapan mau begini terus?” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI