kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Mahasiswa Tolak Perpanjangan Izin HGU PT Socfindo di Aceh Singkil

Mahasiswa Tolak Perpanjangan Izin HGU PT Socfindo di Aceh Singkil

Senin, 20 Mei 2024 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Aliansi Mahasiswa Anti Korupsi (Alamp Aksi) Aceh kembali gelar aksi tolak perpanjangan izin HGU PT Socfindo Lae Butar, Aceh Singkil, di Kantor Gubernur Aceh, Senin (20/5/2024). Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aliansi Mahasiswa Anti Korupsi (Alamp Aksi) Aceh kembali gelar aksi tolak perpanjangan izin HGU PT Socfindo Lae Butar, Aceh Singkil, di Kantor Gubernur Aceh, Senin (20/5/2024). 

Aksi yang dipimpin oleh Ketua DPW Alamp Aksi Aceh, Mahmud Padang tidak lagi berorasi melainkan menutup mulut dengan lakban. Menurut mereka, tak perlu lagi berbicara panjang lebar, jikalau permintaan warga Aceh Singkil tidak ditindaklanjutkan, pihaknya menduga ada permainan di balik perpanjangan izin PT Socfindo Lae Butar, Aceh Singkil.

"Berakhirnya izin HGU PT Socfindo pada 2023 lalu merupakan peluang bagi rakyat Aceh khususnya masyarakat pribumi Singkil untuk terbebas dari penjajahan modern ala HGU yang selama ini terjadi di bumi Syekh Abdurrauf As- Singkily. PT Socfindo sudah menggarap lahan di Aceh Singkil selama kurang lebih 90 tahun lamanya," kata Mahmud Padang.

Lebih lanjut, Mahmud Padang menjelaskan, berdasarkan surat yang pernah diterbitkan Badan Pertanahan Aceh Selatan tahun 1998 (ketika Aceh Singkil masih bagian Aceh Selatan) luas HGU PT Socfindo kurang lebih 4.414 Ha dan izinnya telah berakhir pada tahun 2023, sehingga operasional perusahaan tersebut semestinya sudah dihentikan karena belum adanya perpanjangan izin.

Berdasarkan Undang-undang No.18 tahun 2004 sebagaimana juga diubah dalam UU N0.39 tahun 2014 tentang Perkebunan, dimana dalam Pasal 58 menyatakan

bahwa Perusahaan Perkebunan yang memiliki izin Usaha Perkebunan atau izin Usaha Perkebunan untuk budidaya wajib memfasilitasi pembangunan kebun

masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan.

Namun mirisnya, kata dia, tercatat dari sejak tahun 1930 hanya sekitar 8 hektar yang dihibahkan oleh PT Socfindo kepada Pemerintah Aceh Singkil, sementara selama ini persoalan kebun plasma 20% tak pernah direalisasikan. Sehingga dapat dikatakan selama ini perusahaan itu sudah mengabaikan kewajibannya sebagaimana aturan, belum lagi pengelolaan CSR yang diwajibkan dalam undang-undang juga selama ini tak transparan dan tak jelas manfaatnya kepada masyarakat.

Di dalam UU Perkebunan diwajibkan perusahaan mengikuti standar pembangunan kebun kelapa sawit yang berkelanjutan dengan mengikuti peraturan dan perundang-undangan, yakni perusahaan perkebunan wajib memperhatikan faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan.

"Faktanya sangat sedikit putra-putri Aceh Singkil yang bekerja secara tetap di perusahaan tersebut selama ini, seakan putra putri Aceh Singkil hanya dipakai untuk buruh harian lepas (BHL), padahal mereka berpuluh tahun mengambil keuntungan di daerah kita," ungkapnya lagi.

Di sisi lain, sambungnya, sering kejadian kolam limbah PT Socfindo mencemari sungai Lae Cinendang, sehingga persoalan lingkungan juga menjadi sesuatu kekhawatiran masyarakat selama ini, karena dampak lingkungan sangat serius ini menjadi catatan penting bagi pemerhati lingkungan khususnya di kalangan DLHK Aceh Singkil sendiri.

Melihat kondisi itu, ia meminta Kementerian ATR melalui Kepala Kanwil BPN Aceh untuk tidak lagi menerbitkan surat perpanjangan terkait lokasi PT Socfindo di Aceh Singkil karena ditolak oleh masyarakat dan rawan terjadi konflik sosial karena telah tumpang tindih secara koordinator dengan perkampungan warga.

Kedua, ia mendesak Pj Bupati Aceh Singkil selaku Pemda untuk tidak main mata kepada pihak PT tersebut dan tidak memberikan rekomendasi perpanjangan izin HGU PT Socfindo di Aceh Singkil.

Ketiga, mengecam anggota DPR RI Komisi VI asal Aceh yang dinilai tidak peka dengan persoalan rakyat, karena seharusnya sebagai mitra BKPM/Kementerian Investasi, anggota DPR tersebut sudah bersuara persoalan PT Socfindo di Aceh Singkil ini dalam rapat kerjanya dengan BKPM. Namun, karena tak peduli, tak mengerti dan peka terhadap persoalan rakyatnya maka DPR tersebut tak kunjung bersuara padahal masalah perizinan bagian dari pada tupoksi komisi VI DPR RI.

"Untuk itu, kami ajak masyarakat Aceh Singkil tak lagi memilih wakil rakyat yang tak peduli persoalan rakyatnya tersebut, karena selama ini dewan tersebut hanya perlu rakyat untuk suara pemilu saja," katanya.

Selain itu, KPK RI juga diminta mengawasi proses perpanjangan perizinan PT Socfindo Aceh Singkil ini karena dalam perpanjangan perizinan HGU sangat rawan terjadi suap/gratifikasi, sehingga mengabaikan aturan perundang-undangan, merugikan rakyat dan negara.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda