kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Masalah Perubahan Iklim Masalah Kita Bersama

Masalah Perubahan Iklim Masalah Kita Bersama

Rabu, 17 Oktober 2018 21:10 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Medan - Fenomena perubahan iklim adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dielakkan saat ini. Dampak yang ditimbulkan seperti bencana alam juga menjadi peristiwa yang kerap dijumpai. Tragedi seperti banjir, longsor, banjir bandang hingga kemarau juga menunjukkan frekuensi yang makin meningkat. Untuk itu pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar 8𝑡ℎ Indonesia Climate Change Forum & Expo (ICCFE) 2018 atau Forum Perubahan Iklim dan Expo ke-8, di Medan, Sumatera Utara.

Salah satu tujuan penting dari forum ini saling berbagi pengalaman terhadap inisiasi dan program yang telah dilakukan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah daerah dalam upaya menangani masalah perubahan iklim. Pemerintah Aceh yang diwakili oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) juga terlibat aktif pada even promosi seperti pameran dan talk show yang berlangsung sejak 17-19 Oktober tersebut.

Pada talkshow dengan format seminar di hari Rabu, 17/10, DLHK atas dukungan Uni Eropa melalui program Support to Indonesia’s Climate Change Response (SICCR-TAC), berbagi pengalaman terbaiknya dan program unggulan dengan menghadirkan beberapa orang pembicara. Diantara program yang telah dan sedang berlangsung yaitu program penggunaan dana desa untuk dialokasikan kepada program penyelamatan lingkungan serta telah secara resmi diberlakukan di Kabupaten Pidie melalui Peraturan Bupati No.12, tahun 2018. 

Dr Fauzi Harun, Staf Khusus Bupati Pidie Bidang Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, memaparkan bahwa peraturan pemerintah daerah yang menambahkan indikator ekologi demi menjaga kelestarian lingkungan dan hutan merupakan yang pertama di Indonesia. 

"Aceh, melalui Kabupaten Pidie, menjadi pionir dalam pengelolaan dana desa yang menekankan pada kelestarian hidup dan hutan" paparnya. 

Ia berharap kabupaten atau daerah-daerah lain di Indonesia dapat mengadopsi atau mereplikasi pola-pola yang telah dikembangkan oleh pemerintah Pidie. 

"Atas dukungan dari program SICCR-TAC, Pemerintah Pidie sudah menempuh jalan panjang dalam mewujudkan regulasi yang menjamin pendanaan bagi pelestarian lingkungan. Semoga ini menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain yang berkepentingan pada inisiasi yang sama" pungkas Dr Fauzi Harun. 

Agroforestri Dinamis Terbukti Lebih Efektif

Program unggulan lain yang berdampak langsung kepada masyarakat adalah pelatihan dan praktik penerapan pola tanam beraneka ragam tanaman pada satu lahan dengan strata atau tingkatan yang berbeda, atau lebih dikenal dengan agroforestri dinamis (dynamic agroforestry) atau DAF. Salah seorang penyuluh, Yusniar, memaparkan pengalamannya saat mendapatkan pelatihan dan kemudian melatih para petani dalam menerapkan sistem ini. 

Pada awalnya, metode agroforestri dinamis ini tidak mendapatkan respon yang positif dari masyarakat, karena dianggap tidak lazim dan berbeda dengan praktik yang biasa dilakukan oleh masyarakat. 

"Tapi, setelah beberapa bulan berjalan, mulailah tampak hasilnya. Perkebunan yang dikelola dengan menggunakan pola ini terbukti mampu meningkatkan jumlah produksinya dan dapat dikelola secara efektif" ungkap Yusniar.

Di hadapan seratusan peserta talk show, Yusniar juga menjelaskan keuntungan lain yang didapatkan selain dari segi ekonomi. Terbukti pola DAF lebih ramah terhadap lingkungan karena tidak memerlukan pupuk berbahan pestisida serta ramah lingkungan. Melalui pola ini nasyarakat tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomis, tapi juga ikut melestarikan hutan dan mengurangi laju illegal logging. 

Namun, walaupun program ini telah berjalan, Yusniar masih para pihak yang berkepentingan perlu mensosialisasikan atau menerapkan metode ini secara lebih masif dan intensif. Serta para penyuluh seperti dirinya perlu untuk lebih aktif dalam melakukan pendampingan kepada masyarakat di sekitar hutan, khususnya bagi mereka yang mengadopsi pola ini. 

Aceh Benteng Terakhir Di Sumatera

Sementara itu, narasumber yang mewakili Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, M. Daud, S.Hut, M.Si, Kepala Bidang Konservasi dan Sumber Daya Alam, Aceh memaparkan fakta menarik bahwa sekitar 30 persen tutupan hutan di Sumatera berada di wilayah Aceh. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa Aceh adalah benteng terakhir di Sumatera dalam upaya pelestarian hutan dan berperan besar dalam penanganan perubahan iklim. Untuk itu, Pemerintah Aceh masih membutuhkan dukungan dari berbagai pihak dalam upaya-upaya menangani masalah perubahan iklim, seperti yang telah dilakukan oleh proyek SICCR-TAC. 

"Proyek ini paling giat membantu pemerintah Aceh dalam menangani perubahan iklim," ungkap Muhammad Daud di awal diskusi tersebut.


Hingga saat ini SICCR-TAC melalui pendanaan dari Uni Eropa telah membantu pemerintah Aceh diantaranya dalam peningkatan kapasitas aparatur negara, diantaranya dengan melatih PPNS, hingga program kegiatan strategis seperti mendukung penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA). Hal ini menjadi signifikan karena strategi pemerintah Aceh sudah diarusutamakan dalam RPJMA sebagai salah satu bentuk komitmen pemerintah daerah dalam menangani masalah perubahan iklim.

Pembicara terakhir yang mewakili SICCR-TAC, Riko Wahyudi, S.Hut, M.Sc, mencoba memberikan pemahaman tentang betapa pentingnya semua pihak untuk terlibat dan memulai inisiasi terhadap isu perubahan iklim. Di sesi pernyataan penutup, ahli perubahan iklim Indonesia itu mengambil perumpamaan, 

"Andai kita berada di dalam perahu, jika perahu tersebut bocor, maka tugas kita penumpang untuk menambalnya agar tidak tenggelam, tidak peduli dia orang kaya atau miskin. Begitupula halnya dengan masalah perubahan iklim. Tidak peduli apakah negara maju atau negara berkembang, atau siapapun, wajib untuk ikut serta dalam menanganinya. Karena masalah perubahan iklim adalah masalah kita bersama." Demikian Riko Wahyudi, S.Hut, M.Sc. (f)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda