kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Masyarakat Sipil Serahkan Hasil Kajian ke DPRA untuk Revisi UU Pemerintahan Aceh

Masyarakat Sipil Serahkan Hasil Kajian ke DPRA untuk Revisi UU Pemerintahan Aceh

Selasa, 23 Mei 2023 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Zulkarnaini



DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Masyarakat sipil Aceh menyampaikan kajian kebijakan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Saiful Bahri alias Pon Yaya, terkait masukan masyarakat sipil dalam agenda revisi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA. 

Penyerahan kajian kebijakan tersebut disaksikan oleh Ketua Banleg DPR Aceh serta beberapa ketua komisi dan tim revisi UUPA, pada Senin kemarin.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil Aceh sepakat dengan kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh terhadap revisi terhadap UUPA. Mereka tergabung dalam Aliansi Warga Advokasi Optimalisasi Implementasi dan Revisi UU Pemerintahan Aceh (AWASI UUPA) terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, di antaranya; Katahati Instute, ACSTF, Forum LSM Aceh, HakA, WALHI Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, Komunitas Tikar Pandan, MaTA, Gerak Aceh, LBH Banda Aceh, dan lainnya.

“Kebutuhan untuk melakukan revisi UUPA menjadi penting, karena ada pembaharuan kondisi baik berupa perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan sejumlah pasal dalam UUPA tidak lagi menjadi rujukan,” kata Raihal Fajri, Juru Bicara AWASI UUPA dalam keterangannya, Selasa (23/5/2023).

Selain itu, sejumlah kewenangan yang telah ditetapkan menjadi aturan oleh para pihak di pemerintahan pusat dan Pemerintahan Aceh tidak berjalan secara optimal. “Karenanya Koalisi AWASI UUPA memberikan rekomendasi, optimalisasi dan revisi dalam proses usulan revisi UUPA yang sedang berlangsung.”

Menurutnya, revisi atau perubahan aturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional diperbolehkan dengan beberapa pertimbangan, seperti kehendak politik untuk mempertahankan kekuasaan, penyesuaian terhadap sistem hukum nasional dan aspirasi masyarakat.

Optimalisasi ataupun revisi UUPA harus dilihat secara filosofis, sosiologis maupun yuridis sehingga tidak memunculkan penolakan karena bertentangan, tumpang tindih atau dieleminir oleh produk legeslasi lainnya. Mengingat secara hirarkinya, UUPA berada di tingkat ke-3 setelah UUD 1945 dan Tab MPR, sehingga legal standingnya merupakan lex specialis secara kewenangan dan keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi Aceh dan diselenggarakan oleh Pemerintah Aceh.

AWASI UUPA menyampaikan dua rekomendasi penting. Pertama, untuk subtansi yang sudah selaras dengan MoU Helsinki dan aspirasi masyarakat Aceh, diharapkan supaya dapat dioptimalisasi pelaksanaannya.

MoU Helsinki adalah nota kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menghentikan konflik di Aceh, ditandatangani bersama dalam perundingan di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005.

Selajuntnya rekomendasi kedua, untuk subtansi UUPA yang belum selaras dengan MoU Helsinki dan aspirasi masyarakat Aceh, agar dapat direvisi/diubah dan ditambah pengaturannya.

Kata Raihal, beberapa pasal yang perlu direvisi adalah berkaitan dengan peradilan Hak Asasi Manusia (HAM), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),Kawasan Ekosistem Leuser, beberapa poin terkait norma tentang kewenangan Aceh, dan lainnya. 

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda