DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik keberangkatan luar negeri Bupati Aceh Selatan, H. Mirwan MS, SE., M.Sos, untuk menunaikan ibadah umrah terus menuai kritik. Pasalnya, keberangkatan tersebut dilakukan di tengah kondisi masyarakat Aceh Selatan yang sedang dilanda bencana banjir dan longsor, sementara izin perjalanan itu juga disebut-sebut ditolak Gubernur Aceh Muzakir Manaf maupun Kementerian Dalam Negeri.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, memberikan kritik keras. Ia menilai keputusan Bupati Mirwan sebagai tindakan yang tidak mencerminkan tanggung jawab seorang pemimpin.
“Ini bentuk pelarian diri seorang bupati. Sikap seperti ini menunjukkan pemimpin yang tidak bertanggung jawab dan tidak punya hati,” tegas Alfian kepada Dialeksis, Sabtu 6 Desember 2025
Menurutnya, sangat ironis ketika seorang bupati sebelumnya menyatakan tidak sanggup menangani bencana yang menimpa rakyatnya, namun justru memilih bepergian ke luar negeri.
“Bagaimana bisa khusyuk melaksanakan umrah sementara rakyatnya hidup dalam kondisi tidak menentu? Ketika rakyat sedang berjuang bertahan, pemimpinnya pergi. Ini perilaku yang tidak layak ditolerir,” lanjutnya.
Alfian bahkan menilai bahwa masyarakat Aceh Selatan memiliki dasar moral untuk mempertanyakan legitimasi kepemimpinan Mirwan.
“Rakyat Aceh Selatan sudah sepatutnya mengumumkan bupati dalam status seperti DPO moral, karena meninggalkan rakyatnya di tengah bencana. Sama sekali tidak bertanggung jawab dan tidak beretika,” ujarnya.
MaTA juga mendesak DPRK Aceh Selatan agar tidak tinggal diam. Menurut Alfian, parlemen daerah wajib mengambil langkah tegas, termasuk mempertimbangkan pemakzulan.
“DPRK jangan hanya duduk melihat. Ini momentum mereka menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Langkah tegas seperti proses pemakzulan harus dipertimbangkan dengan serius, karena tindakan bupati hari ini merupakan pelanggaran etika publik,” tegasnya.
Selain DPRK, Alfian meminta partai politik pengusung Bupati Mirwan MS untuk turut bersikap.
“Secara kepartaian juga harus ada evaluasi. Kader yang tidak bertanggung jawab seperti ini tidak bisa dibiarkan. Partai harus menunjukkan komitmen moral dan standar etiknya,” kata Alfian.
Dalam penegasan lebih lanjut, Alfian mengatakan bahwa kasus ini bukan hanya soal izin keberangkatan, tetapi menyangkut kepekaan moral seorang pemimpin.
“Seorang bupati bukan sekadar jabatan administratif, tetapi simbol harapan masyarakat. Ketika harapan itu dikhianati di saat rakyat membutuhkan, maka hilanglah kepercayaan. Ini tidak boleh dianggap sebagai kesalahan kecil,” tambahnya.
Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi tata kelola pemerintahan daerah. “Jika seorang kepala daerah bisa dengan mudah meninggalkan tanggung jawab, itu pertanda ada masalah serius dalam sistem pengawasan internal pemerintah Aceh Selatan. Aparat pengawas internal, inspektorat, hingga Kemendagri harus melihat ini sebagai peringatan,” jelas Alfian.
Terakhir, ia menegaskan bahwa bencana adalah ujian kepemimpinan. “Bencana itu ujian bagi seorang pemimpin. Ada yang hadir bersama rakyatnya, ada yang memilih pergi. Publik tentu bisa menilai sendiri siapa yang pantas diberi amanah ke depan,” tutupnya.