kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / MaTA Pertanyakan Lagi Kepastian Hukum Kasus Korupsi Tanggul Cunda-Meraksa

MaTA Pertanyakan Lagi Kepastian Hukum Kasus Korupsi Tanggul Cunda-Meraksa

Selasa, 21 Desember 2021 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Fatur

Koordinator MaTA, Alfian. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) kembali pertanyakan kepastian hukum terhadap kasus korupsi pembangunan tanggul Cunda-Meraksa yang telah merugikan negara sebesar 4.3 Milyar berdasarkan audit investigasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan (BPKP) perwakilan Aceh atas permintaan Kejari Kota Lhokseumawe pada saat itu.

Koordinator MaTA, Alfian mengatakan, pembangunan tanggul yang bersumber dari Dana Otsus itu di duga kuat fiktif.

"Karena tidak ada pembangunannya di lapangan dan rekanan juga sudah kembalikan uang rakyat ke Kas Kota Lhokseumawe, itu dilakukan karena sudah ketahuan oleh publik," ucapnya.

Selanjutnya, kata Alfian, pihak Kejari Lhokseumawe meminta audit kerugian negara, dan BPKP Aceh sudah menyerahkan hasil auditnya kepada Kejari dan Kejati Aceh pada waktu itu.

"Setelah Kejaksaan menerima hasil audit kerugian negara di hari Rabu 19 Mei 2021 sampai sekarang belum ada kepastian hukum atau perkembangan terjadap kasus teraebut," ujar Alfian.

Jadi, sambung Alfian, kalau dihitung sudah 214 hari sejak 19 Mei (Menerima hasil audit) sampai 21 Des 2021 kasus ini tidak ada perkembangan sama sekali.

"Kami menilai kasus tersebut patut diduga kuat terlibat penyelenggara negara di Kota tersebut. Sehingga berakibat terjadinya kerugian keuangan negara," kata Alfian.

Lebih lanjut Alfian mengatakan, jadi makin lama kasus tersebut tidak ada kepastian hukum. Maka, publik makin kuat dugaan kasus tersebut sengaja didiamkam. 

Alfian mangatakan, hal ini bisa saja agar publik lupa. Maka itulah yang mareka inginkan selama ini. 

"kami juga mempertanyakan konsistensi Kejati Aceh terhadap kasus tersebut, kali ini Kejati bagaikan telah disertir khusus terhadap kasus ini, Kejati dibuat tidak berdaya. beda reaksinya kalau pada kasus korupsi yang lain, jadi publik sangat pantas menilai kasus ini telah disertir oleh para pihak yang diduga terlibat," sebutnya.

Seharusnya, kata Alfian, kalau memang Kejaksaan sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Kejari waktu bertemu dengan mahasiswa saat demo waktu itu, tidak ada korupsi dalam pembangunan tanggul tersebut, maka segera hentikan kenapa harus digantung. dugaan kita sejak awal diproses penyelidikan ternyata memang benar terjadi," tegas Alfian.

MaTA sendiri akan segera melakukan koordinasi terhadap kepastian hukum kasus tersebut dengan Kejaksaan Agung dan Komisi III DPR RI. 

"Kalau memang di hentikan maka kita dapat memintak kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan supervisi, sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya," pungkasnya.

Sebelumnya, Berdasarkan Litbang Dialeksis.com, Selasa (21/12/2021), kasus korupsi pembangunan tanggul Cunda-Meraksa pelaksanaan proyek pengaman pantai Cunda- Meuraksa anggaran tahun 2020 senilai Rp 4,9 miliar.

Penyidik Kejari Lhokseumawe sedang mulai melakukan pengumpulan barang bukti dan keterangan (pulbaket) terkait proyek tersebut.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Lhokseumawe, Dr Mukhlis, melalui Kasi Intelijen, Miftahuddin, SH menjawab media Dialeksis.com pada 22 Maret 2021 mengatakan, bahwa pihaknya sudah mengajukan permintaan audit investigasi kepada BPKP Perwakilan Aceh.

Namun, sebelum mengajukan audit investigasi itu, penyidik juga sudah memintai keterangan sejumlah pihak yang dianggap mengetahui proyek tersebut. Mereka adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tahun 2019 dan juga Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tahun 2019 terkait proyek tersebut.

Kemudian, Kepala BPKP Aceh, Indra Khaira Jaya membenarkan pihaknya bersama penyidik dari Kejari Lhokseumawe dan sudah melakukan ekpose subtansi dugaan korupsi pembangunan pengaman pantai Cunda-Meuraksa kota Lhokseumawe. Anggaranya sebesar Rp4,9 miliar tahun 2020.

Pembangunan pengaman pantai Cunda-Meuraksa dananya dari Otonomi Khusus (Otsus) tahun anggaran 2020 senilai Rp 4,9 miliar yang dilaksanakan oleh PT Putra Perkasa Aceh.

Dari akses Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Aceh dan LPSE Kota Lhokseumawe, dana untuk pengaman pantai ini sudah terbilang banyak. Sejak tahun 2013 sampai 2020 total dana yang sudah dialokasikan oleh pemerintah Rp 47.108.502.551 (Rp47,1 miliar lebih).

Namun, ketika sudah riuh, Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Lhokseumawe bersama Dinas Pembangunan Umum Perumahan Rakyat (PUPR), Senin (18/1/2021), dalam sebuah pertemuan di komisi C, disepakati bahwa proyek tersebut tidak fiktif.

Sebelumnya juah-jauh hari, Pihak MaTA pernah mengatakan, bila jaksa menghentikan kasus ini, akan jadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi oleh negara.

Kontraktor pelaksana yang telah mengembalikan dana ke kas negara, itu hanya bagian dari ‘meringankan saja’ ketika sudah di pengadilan. Pengembalian uang ke kas negara tidak menghapus tindak pidana korupsi.

"Pihak kejaksaan harus menuntaskan kasus proyek fiktif yang bersumber dari Otsus 2020 ini secara utuh tanpa mengesampingkan pelanggaran hukum yang nyata telah terjadi," tegasnya.

“Bila jaksa menghentikan kasus ini akan jadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi oleh negara. Bila mandat UU Tindak Pidana Korupsi diabaikan ini adalah pelanggaran serius. publik akan menilai hukum mencederai keadilan dan ini jelas lahir ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum”, ucapnya kepada Dialeksis.com kala itu.

Pihak MaTA sendiri sudah melakukan investigasi langsung ke lapangan. Pihaknya bertemu dengan sejumlah perangkat desa dan warga di sana. Diketahui bahwa pada tahun 2020 tidak ada lanjutan pembangunan proyek tanggul pengaman Cunda- Mueraksa ini.

Menurutnya, ini adalah modus yang menarik. Menariknya pekerjaan 2019, klaim anggaran alokasi tender pada 2020. Seperti sebuah Skenario besar untuk menarik dana dalam jumlah yang besar, kata Alfian.

Praktisi hukum Hermanto kepada Dialeksis.com menjelaskan dan menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan korupsi .

Hal itu ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999,tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi. 

Bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan 3 undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda