Melawan Lupa, KontraS Aceh Launcing Museum HAM Virtual: Lorong Ingatan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Elma
DIALEKSIS.COM| Banda Aceh - Berawal dari pembuatan memorialisasi dengan tema "Lorong Ingatan," yang dilaksanakan dua kali yaitu di tahun 2017 dan 2019 sebagai kampanye melawan lupa.
KontraS Aceh membuat keberlanjutan atas memorialisasi tersebut dengan membuat suatu Museum Hak Asasi Manusia (HAM) Virtual: Lorong Ingatan. Webinar dan Launcing Museum HAM Virtual ini dilaksanakan melalui aplikasi Zoom meeting dari pukul 14.00-16.00 WIB.
"Sebenarnya museum ini sebuah impian kita yang sudah lama dan baru terwujud sekarang. Pada tahap awalnya kita ingin museum ini dibangun secara fisik. Museum yang kita bangun ini sebagai upaya dalam memorialisasi," jelas Koordinator KontraS Aceh Hendra Saputra (21/01/2021)
Terhalang oleh pandemi, museum yang harusnya dibangun secara fisik ini dibuat dengan bentuk virtual. Yang dapat diakses pada link: museumham.kontrasaceh.or.id.
Museum ini menghadirkan empat tema besar yaitu penghilangan paksa, penyiksaan, pembantaian massal dan pembunuhan tokoh Aceh yang ditampilkan dalam bentuk narasi, foto, infografis dan video grafis.
Menyinggung Tsunami Aceh 2004 yang punya museum yang dapat dikunjungi bersama. KontraS Aceh menginisiasi Museum HAM Virtual sebagai langkah awal untuk membuat museum yang dapat dikunjungi secara fisik. Sehingga nantinya terkait dengan konflik Aceh, masyarakat punya tempat yang bisa dikunjungi bersama.
Webinar dan launcing museum HAM virtual ini dimulai menghadirkan tiga narasumber yang memiliki kompeten dalam bidang HAM yaitu sebagai Direktur Program Museum HAM Munir Ali Nursahid, penulis/peneliti Raisa Kamila dan Koordinator KontraS Aceh Hendra Saputra. Yang dibawakan oleh host Zoelmasry dari Jurnalis Harian Kompas.
Ali Nursahid mengawali webinar ini dengan menyatakan bahwa masalah kita saat ini adalah masalah pada sejarah, yang mana versi sejarah masih tunggal dari pemerintah. Dari itu dibutuhkan upaya dari masyarakat untuk mencari versi sejarah dari sudut pandang lainnya.
"Membangun lorong kolektif bersama, kita tau masa-masa represif pernah terjadi di negara ini. Dan pelanggaran HAM tidak kunjung membaik. Museum ini memberikan makna penting sebagai identitas politik kita sebagai bangsa," ujarnya.
Ali juga menjelaskan terkait dengan Museum Omah Munir yang dibuat dengan bentuk kreatif seperti dengan mengemas pelanggaran HAM yang terjadi dengan muda dengan podcast, sosialisasi, flyer serta merchandise.
Pemateri kedua, Raisa Kamila bercerita tentang bagaimana dia mencoba menulis cerita-cerita di masa lalu dengan menggali ingatan dari berbagai narasumber. Salah satu buku yang Raisa Kamila buat bersama teman-temannya yaitu Tank Merah Muda sebagai cerita-cerita yang tercecer dari reformasi.
"Bisa lebih cair dengan menceritakan dengan fiksi," ungkapnya. Raisa mencoba membuat cerita-cerita konflik di masa lalu dengan pembawaan yang lebih ringan sehingga anak muda khususnya dapat menikmati cerita sejarah dengan santai.
Museum HAM Virtual ini merupakan kolaborasi bersama dari KontraS Aceh, Asia Justice and Rights (AJAR) dan Transitional Justice Asia Network (TJAN) yang menjadi suatu wadah untuk menarik masyarakat agar mengetahui atau mengingat kembali pelanggaran HAM di masa lalu.
"Museum ini menjadi hal yang menarik, yang mana kita mau mengingatkan para pihak. Museum ini bukan hanya milik KontaS Aceh, mari sama-sama kita warga Aceh mengembangkan museum ini dengan mengirimkan tulisan yang berkaitan dengan HAM," tutur Hendra.
KontraS Aceh memberi kesempatan bagi masyarakat luas untuk berkontribusi untuk mengisi Museum HAM Virtual dengan mengirimkan cerita yang berkaitan dengan HAM melalui email: lorongingatan@kontrasaceh.or.id.