Membandingkan Pestisida Kimiawi dan Alami, Petani Harus Tahu
Font: Ukuran: - +
Reporter : akhyar
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Prof Abubakar Karim menyampaikan, perbandingan pestisida anorganik (racun kimiawi) dan pestisida nabati (bahan baku alami) dalam target membunuh hama, lebih efektif jika menggunakan pestisida anorganik.
Namun, kata dia, pestida anorganik terkadang menyasar atau ikut memberi dampak pada mikro organisme lain yang juga membantu sistem pertanian dalam konteks komposisi bahan organik tanaman.
"Pemakaian anorganik terkadang non target juga ikut mati. Hama memang mati, tapi ada non taget lain seperti mikro organisme di air atau di tanah juga ikut mati semua. Padahal mikro organisme itu sangat diperlukan dalam sistem pertanian kita," jelas Prof Abubakar kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Minggu (19/9/2021).
Secara keseimbangan alam, Prof Abubakar menyarankan agar petani menggunakan pestisida nabati. Karena imbas pemakaian pestisida nabati, pengaruhnya tidak terlalu berbahaya bagi mikro organisme lain yang membantu menyuburkan tanaman.
Hanya saja, lanjut Prof Abubakar, karakter petani saat ini inginnya serba instan. Petani mau cepat melihat hasil, elegan, dan tuntas dalam membasmi hama. Padahal dalam pilihan pemakaian pestisida, ada hal lain juga yang patut diperhatikan seperti bahaya bagi mikro organisme lain dan kerusakan lingkungan.
Akademisi itu melanjutkan, pada dasarnya hama tanaman seharusnya bisa saja dibiarkan. Tapi, kadar hama yang dibolehkan hidup sepanjang tidak merugikan petani secara ekonomi.
"Hama akan bermasalah ketika dia merugikan secara ekonomi. Artinya tanaman kita diserang sehingga hasil kita dapatkan lebih sedikit dibanding dengan modal," jelas Prof Abubakar.
Mematenkan Inovasi Butuh Komitmen Bersama
Beberapa hari yang lalu, sekelompok tani di Aceh Besar berhasil atau mampu memproduksi pembasmi hama dari bahan baku hayati.
Bahkan produksi pestisida hayati ini mendapat pujian dari Kementerian Pertanian (Kementan) Indonesia melalui Dirjen Perlindungan Tanaman Pangan saat menyidak langsung kelompok tani di Aceh Besar.
Sebagai cendekiawan, Prof Abubakar berharap agar Pemerintah Aceh ikut mematenkan inovasi pestisida nabati yang dibuat oleh petani Aceh Besar.
"Ketika nanti sudah paten. Nah, ini bisa dipakai oleh masyarakat umum. Jadi, sudah bisa dipasarkan dan sudah masuk kemana-mana. Apalagi kalau sudah paten nanti, kita bisa usulkan ke Kementerian untuk diakui," sebut Prof Abubakar.
Namun fenomena yang sering dialami di lapangan, kata Prof Abubakar, inovasi-inovasi seperti ini sering setop di tengah jalan. Musababnya bisa jadi karena inovatornya tidak lagi fokus pada penemuannya, atau tidak ada lagi yang mengembangkan.
"Biasaya inovasi kalau sudah berhasil, ya, selesai. Karena tidak ada lagi yang mengembangkan. Padahal mekanisme pengembangan itu seharusnya pemerintah yang lakukan melalui lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Artinya, untuk mematenkan inovasi perlu komitmen bersama," pungkas Prof Abubakar. [akh]