Mengawal Pilkada 2024, Media Harus Bebas Tekanan untuk Demokrasi Sehat
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Adi Warsidi, Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan mantan wartawan Tempo dalam sosialisasi bertajuk Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024 yang digelar Sabtu, 23 November 2024, di Banda Aceh. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam sosialisasi bertajuk Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024 yang digelar Sabtu, 23 November 2024, di Banda Aceh, Adi Warsidi, Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan mantan wartawan Tempo, berbagi pandangannya tentang fungsi pers dan peran media dalam demokrasi.
Sosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan Pilkada yang demokratis.
Dalam pemaparannya yang dihadiri wartawan dialeksis.com, Adi Warsidi menekankan bahwa pers memegang peranan vital sebagai pilar keempat demokrasi.
"Pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Fungsi ini menempatkan pers sebagai garda terdepan dalam mendukung demokrasi yang sehat," ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa demokrasi tidak hanya sebatas realitas kehidupan sehari-hari, tetapi juga bagaimana media mencitrakan proses tersebut.
"Media memiliki kemampuan untuk memengaruhi persepsi publik terhadap demokrasi. Namun, di sinilah tantangannya, apakah media mampu menjalankan perannya dengan obyektif dan bebas dari tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu," kata Adi.
Adi juga menyinggung hubungan antara pers dan politisi, mengutip pandangan Presiden Amerika Serikat, Thomas Jefferson, yang pernah berkata,
"Jika harus memilih antara pemerintahan tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintahan, saya akan memilih yang terakhir.” Pernyataan Jefferson tersebut menunjukkan pentingnya peran pers sebagai penjaga demokrasi.
Namun, Adi mengingatkan bahwa hubungan pers dan politisi tidak selalu harmonis. "Saat Jefferson menjadi presiden, ia mulai membatasi kebebasan pers dengan melabeli sebagian wartawan sebagai oposisi. Ini menunjukkan betapa pentingnya independensi pers dari tekanan politik," tambahnya.
Namun, Adi tidak menutup mata terhadap sisi negatif dari pemberitaan media, terutama dalam momen krusial seperti Pilkada.
Ia mencatat beberapa risiko yang sering muncul, seperti penyebaran informasi tak akurat, provokasi isu, dan keberpihakan pada kepentingan kelompok tertentu.
"Jika tidak hati-hati, media dapat menjadi pemicu konflik atau bahkan memperburuk perselisihan dalam masyarakat. Isu demokrasi dan Pilkada bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, yang justru merugikan publik," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengimbau agar media tetap memegang prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab. "Media harus mampu mengedepankan prinsip keberimbangan dan menghindari sensasi yang hanya akan membesar-besarkan isu tanpa solusi," tegas Adi.
Adi Warsidi menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi Pilkada, termasuk dalam mengkritisi pemberitaan media.
"Publik tidak hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga aktor yang dapat mendorong media untuk menjalankan fungsinya dengan benar. Jika masyarakat terlibat aktif, demokrasi kita akan semakin kuat," tutupnya.