DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Dewan Kesenian Aceh, Dr. Teuku Afifuddin, M.Sn., menyerukan komitmen kolektif seluruh elemen masyarakat dan pemerintah untuk menjaga serta melestarikan cagar budaya dan adat istiadat Aceh.
Menurutnya, tanpa keseriusan bersama, warisan yang menjadi identitas kolektif orang Aceh berisiko hilang ditelan arus modernisasi.
“Cagar budaya bukan hanya benda mati. Ia adalah saksi perjalanan sejarah dan identitas kita sebagai bangsa Aceh,” kata Afifuddin, saat ditemui Dialeksis usai mengajar di Institut Seni Budaya Indonesia Aceh, Kamis (18/9).
Afifuddin menilai, tantangan terbesar saat ini datang dari dua sisi. Pertama, minimnya kepedulian generasi muda terhadap situs bersejarah. Kedua, lemahnya pengawasan pemerintah dalam menjaga keberlanjutan adat istiadat yang mulai tergerus budaya populer global.
“Kalau kita abai, jangan kaget bila 20 tahun lagi generasi kita hanya mengenal nama, tapi tidak pernah lagi melihat jejak nyata warisan nenek moyang mereka,” ujarnya.
Ia menekankan, pelestarian cagar budaya tidak bisa hanya mengandalkan regulasi. Pemerintah, kata Afifuddin, perlu memperkuat kebijakan perlindungan dengan dukungan anggaran yang memadai, sementara masyarakat harus diberdayakan sebagai penjaga terdepan.
“Tidak mungkin hanya Dinas Kebudayaan yang bekerja sendiri. Perlu sinergi perguruan tinggi, komunitas seni, ulama, dan tokoh adat untuk menghidupkan kembali kesadaran kolektif,” tuturnya.
Selain situs sejarah, Afifuddin juga menyoroti pentingnya menjaga adat istiadat Aceh. Menurutnya, adat bukan sekadar ritual, melainkan fondasi moral yang menjaga harmoni sosial.
“Dalam adat kita ada nilai kebersamaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap alam. Itu modal sosial yang bisa menjawab krisis moral dan lingkungan saat ini,” kata dia.
Afifuddin mengajak semua pihak, dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat, untuk menempatkan pelestarian budaya sebagai agenda utama.
Ia menyebut, langkah ini bukan hanya demi menjaga jati diri, melainkan juga sebagai strategi ekonomi melalui sektor pariwisata.
“Ketika cagar budaya terawat, adat istiadat terjaga, maka Aceh bukan hanya kuat identitasnya, tapi juga menarik bagi dunia luar. Itu potensi ekonomi yang tidak boleh diabaikan,” ujarnya menutup.
Menurut dia, penting Pemerintah Aceh melibatkan Dewan Kesenian Aceh dalam hal konsultasi dan perencanaan kebijakan kebudayaan. Di samping itu, DKA juga harus dilibatkan dalam menyusun program strategis, menjalin kerja sama dengan pemerintah, akademisi, dan komunitas seni, memberikan rekomendasi kebijakan, hingga mengembangkan seni tradisional dan kontemporer Aceh agar mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional.