DIALEKSIS.COM | Takengon - Di penghujung Oktober yang sejuk di dataran tinggi Gayo, ruang sidang DPRK Aceh Tengah terasa lebih hangat dari biasanya. Di sana, perwakilan Pasak Opat Nenggeri Linge duduk sejajar dengan anggota dewan, membicarakan hal yang tak sekadar tentang aturan, tapi tentang marwah. Tentang Linge kerajaan tua yang menjadi akar sejarah peradaban Aceh.
Pertemuan itu digelar tepat menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda, 27 Oktober 2025. Simbolis sekaligus reflektif. Sumpah Pemuda, yang menegaskan persatuan di atas keberagaman, kini menemukan gaungnya kembali dalam perbincangan adat Gayo.
“Sumpah Pemuda itu tidak lahir di ruang kosong. Ia berpijak pada kesadaran akan nilai adat, yang menjadi pondasi bangsa ini,” ujar Zam Zam Mubarak, tokoh adat dari Pasak Opat Nenggeri Linge, usai rapat dengar pendapat itu.
Dalam pertemuan tersebut, DPRK Aceh Tengah dan Pasak Opat Nenggeri Linge membahas dua hal penting: penguatan kelembagaan Kerajaan Linge dan penyusunan Qanun Adat serta Kelembagaan Kerajaan Linge. Dua dokumen yang diharapkan menjadi dasar hukum bagi pelestarian sistem adat dan kearifan lokal Gayo di tengah pembangunan modern.
Kerajaan Linge selama ini dikenal sebagai epicentrum peradaban Aceh. Dari sanalah banyak tokoh, sistem nilai, dan tatanan sosial lahir dan menyebar ke seluruh wilayah Aceh. Namun, hingga kini kerajaan itu belum mendapatkan pengakuan formal dari negara sebagai warisan budaya nasional.
Menurut Zam Zam, hal itu menjadi kegelisahan masyarakat hukum adat di Gayo. “Linge bukan sekadar simbol sejarah. Ia adalah jantung kebudayaan Gayo. Maka sudah saatnya negara hadir memberikan pengakuan dan ruang hidup bagi lembaga adat,” katanya.
Rapat DPRK Aceh Tengah kali ini tidak sekadar seremoni. Ada isyarat politik yang menguat political will untuk menempatkan lembaga adat Gayo sebagai mitra strategis pemerintah daerah. DPRK memberi sinyal kuat mendukung penyusunan Qanun Adat yang akan menjadi payung hukum bagi eksistensi Kerajaan Linge.
Langkah ini juga sejalan dengan perhatian pemerintah pusat terhadap dataran tinggi Gayo, yang memiliki potensi ekonomi strategis dari sektor pertanian, pariwisata, hingga ekowisata berbasis budaya. Dalam visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, pengembangan ekonomi kreatif dan pariwisata menjadi salah satu prioritas nasional.
“Masyarakat adat harus menjadi bagian dari pembangunan, bukan hanya penonton. Dengan Qanun Adat, kita ingin adat menjadi kekuatan moral yang mengawal pembangunan,” ujar Zam Zam.
Dalam forum itu, Pasak Opat Nenggeri Linge menyerahkan Naskah Akademik Qanun Adat dan Kelembagaan Kerajaan Linge, serta Titah Raja Linge tentang Pengelolaan Hutan Lestari, kepada DPRK melalui Komisi D. Naskah tersebut berisi panduan nilai dan sistem kelembagaan yang menegaskan hubungan adat dengan pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berkelanjutan.
“Raja Linge sejak dulu menegaskan prinsip keseimbangan antara manusia, alam, dan adat. Titah itu masih relevan sampai sekarang,” kata Zam Zam.
Ia berharap, Qanun Adat yang akan dibahas DPRK nanti tak hanya menjadi dokumen hukum, tetapi juga ruang hidup bagi masyarakat hukum adat agar dapat berperan aktif menjaga keseimbangan lingkungan dan sosial di wilayahnya.
Kelembagaan Kerajaan Linge diharapkan menjadi mitra strategis pemerintah daerah dalam pengelolaan potensi wilayah adat. Peran ini tak hanya menyangkut pelestarian budaya, tetapi juga penguatan ekonomi masyarakat melalui pariwisata berbasis adat dan kopi Gayo yang sudah mendunia.
Sebagai tindak lanjut, DPRK Aceh Tengah juga merancang Festival Kopi Arabika Gayo dan Budaya Leuser 2026. Agenda ini diproyeksikan menjadi atraksi wisata unggulan nasional.
“Festival itu bukan hanya soal promosi kopi, tapi juga memperlihatkan bagaimana adat Gayo menjadi daya tarik ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Zam Zam Mubarak.
Wilayah Gayo memang menyimpan catatan panjang dalam sejarah Nusantara. Banyak sumber sejarah menyebut, Kerajaan Linge menjadi salah satu cikal bakal peradaban politik Aceh modern. Pemerintah pusat juga telah memberikan perhatian khusus dengan membangun Museum Gayo di Takengon, yang setiap tahun dianggarkan melalui Dana Alokasi Khusus non-fisik.
Bagi masyarakat adat, Qanun Adat Linge bukan sekadar aturan, melainkan bentuk pengakuan atas sistem nilai yang telah ada jauh sebelum republik berdiri. Salah satu wujudnya adalah 45 Pasal Nenggeri Linge hukum adat tertua di Aceh yang masih dipegang teguh hingga kini.
Penyusunan Qanun Adat dan Kelembagaan Kerajaan Linge kini menjadi simbol kebangkitan baru adat Gayo. Ia bukan nostalgia masa lalu, melainkan pijakan masa depan. Di tengah arus pembangunan dan industrialisasi, masyarakat adat menegaskan diri ingin tetap menjadi subjek bukan sekadar objek kebijakan.
“Adat bukan romantisme sejarah. Ia adalah moral kompas. Dengan Qanun Adat, kami ingin memastikan pembangunan di Gayo tetap berpihak pada manusia dan alam,” ucap Zam Zam tegas.
Menjelang Hari Sumpah Pemuda, gema semangat persatuan itu terasa kembali di Takengon. Kali ini bukan dari podium politik atau deklarasi besar-besaran, melainkan dari meja rapat adat dan dewan tempat di mana nilai-nilai lama dan cita-cita baru mencoba menemukan keseimbangannya.