Nasir Djamil Minta Keterbukaan Presiden Jelaskan Perpres Ekstremisme
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) pada 6 Januari lalu.
Perpres itu terbit berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satunya: “Semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.” Situasi ini “telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.”
Berbagai pihak langsung memberi kritikan sebab dinilai peraturan itu justru memicu masalah baru alih-alih menanggulangi kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Anggota DPR RI Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil meminta pemerintah untuk lebih terbuka dalam menjelaskan makna dari peningkatan ektremisme berbasis kekerasan di Indonesia.
Hal itu ia sampaikan karena definisi terorisme dan ekstremisme masih bias dan dapat menyasar kelompok-kelompok tertentu dan agama tertentu.
"Pemerintah harus terbuka. Meningkat ancaman ini seperti apa dan dimana saja, sehingga kemudian program-program kementerian lembaga itu akan lebih fokus. Jadi, jangan abstrak begitu," ucap Nasir saat menjadi narasumber dalam acara Dua Sisi, Tv One, Jumat (22/1/2021).
Nasir bercerita, sejak ia bersama pemerintah dan anggota DPR RI lainnya membentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme, DPR RI, selalu mengingatkan pemerintah agar ketika bertindak menangani aksi terorisme, negara Indonesia harus berdaulat.
Ia juga membenarkan aksi terorisme merupakan musuh global karena memang semua negara juga menghadapi hal yang serupa.
Akan tetapi, lanjut dia, sebagai sebuah negara yang berdaulat, jangan sampai Indonesia didikte oleh kekuatan-kekuatan asing, apalagi sampai mereka menggelontorkan anggaran untuk menanggulangi itu.
Ia juga mempertanyakan, konsiderans (pertimbangan) pembentukan Perpres Ekstremisme tersebut. Karena, berdasarkan laporan yang ia dapatkan dari pihak kepolisian, penangkapan-penangkapan terorisme dari tahun ke tahun mulai berkurang.
"2018 itu ada 396 yang ditangkap. Di 2019 ada 276. Nah, di 2020 itu 228. Jadi, ada penurunan sebenarnya walaupun kita nggak boleh lengah," katanya.
Nasir berpesan, barang kali jika pemerintah nanti membentuk sekretariat bersama, agar ikut melibatkan kelompok-kelompok kritis untuk memberi masukan.
"Sehingga kemudian, ini tidak dikhawatirkan semacam ada agenda di luar penegakan hukum dan upaya untuk melakukan edukasi," jelasnya.
Selain itu, Nasir menilai Perpres tersebut terdapat sisi positif dan nilai plus dalam kurikulum edukasi, didikan literasi, dan sebagainya.
Akan tetapi, ia berharap agar implementasi Perpres tersebut terjalankan sesuai amanat peraturan presiden.
"Sering sekali bagus di atas kertas saja tapi di lapangan sering mengalami kendala," pungkasnya.
- Nasir Djamil Diisukan Bakal Calon Gubernur Aceh di Pilkada 2022, Pengamat: Seperti Kuda Hitam
- Calon Kapolri Ajukan Pengaktifan PAM Swakarya dan Kewajiban Polri Belajar Kitab Kuning, Begini Respon Nasir Djamil
- Potensi Kandidat Calon Gubernur, Begini Jawaban PKS Aceh
- Tutup Uji Kelayakan Calon Tunggal Kapolri, Nasir Djamil Pimpin Doa