kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Negara Lamban Ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa, Ini Kata KontraS Aceh

Negara Lamban Ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa, Ini Kata KontraS Aceh

Selasa, 30 Agustus 2022 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna. [Foto: ist]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Setiap tanggal 30 Agustus, warga di seluruh dunia memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional. Peringatan ini momen penting sebagai bentuk dukungan terhadap para korban kasus-kasus penghilangan paksa yang hingga kini masih menyisakan duka, khususnya bagi keluarga korban. 

Sebagai upaya bersama untuk mencegah kekerasan serupa berulang di masa mendatang, Perserikatan Bangsa-Banda (PBB) telah mencetuskan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa sejak tahun 2006.

Ini merupakan satu instrumen hukum yang harus diadopsi pemerintah agar secara serius memproses para pelaku penghilangan paksa sesuai ketentuan hak asasi manusia (HAM) dan hukum internasional. Namun, meski Pemerintah RI telah menandatangani di tahun 2010 silam, konvensi itu tak juga kunjung diratifikasi.

Jika mundur ke belakang, Ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa merupakan satu dari empat rekomendasi DPR RI kepada Pemerintah RI pada tahun 2009.

Setelah mengalami stagnasi selama 12 tahun sejak penandatanganannya di tahun 2010, akhirnya RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa telah berada di meja Komisi I DPR RI.

Di tahun 2013, konvensi ini juga masuk ke DPR tapi pembahasannya justru ditunda hingga tak ada kabar perkembangannya. DPR beralasan masih membutuhkan waktu untuk konsultasi dan mengkaji ulang.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna mengungkapkan, bertepatan pada Hari Anti-Penghilangan Paksa Internasional ini, fokus KontraS Aceh bukan hanya perihal mendesak ratifikasi, tetapi juga penuntasan kasus-kasus orang hilang di masa konflik Aceh silam.

“Kasus-kasus tersebut belum pernah diselesaikan, dan semakin lama semakin banyak keluarga korban penghilangan paksa yang putus asa menanti kebenaran atau keadilan,” ujar Husna, Selasa (30/8/2022).

KontraS Aceh menagih keseriusan pemerintah dalam hal ini. Padahal pemerintah telah menjanjikan untuk meratifikasi kovensi tersebut sejak Desember 2021 lalu. 

[Dok. KontraS Aceh for Dialeksis][Dok. KontraS Aceh for Dialeksis]
 

Menurut Husna, dengan meratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa, maka ini sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam melakukan perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM.

Konvensi ini, sambungnya, tentu dibutuhkan sebagai langkah preventif dan korektif negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa.

“Molornya ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa di Indonesia jadi preseden buruk atas pemenuhan hak kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi keluarga korban orang hilang termasuk mencegah keberulangan,” ujarnya.

Husna juga mengingatkan pemerintah, bahwa tanpa aturan ini, maka potensi munculnya kasus pelanggaran HAM serupa akan berulang di masa depan.

[Dok. KontraS Aceh for Dialeksis][Dok. KontraS Aceh for Dialeksis]

Catatan KontraS Aceh, di Aceh sendiri terjadi banyak sekali kasus penghilangan orang secara paksa, utamanya mencuat dalam kurun waktu tahun 1990-2005.

Bahkan, berdasarkan hasil riset KontraS Aceh di 14 kabupaten/kota, keluarga korban yang ditinggalkan hingga kini masih didera beban berat lantaran tidak jelasnya nasib anggota keluarga mereka yang hilang di masa lalu.

Kasus penghilangan orang secara paksa juga menimpa relawan kontraS Aceh pada tahun 2003. Meski sejumlah bukti dan saksi telah dihadirkan untuk mengungkap kebenaran kasus tersebut, namun tidak ada penyelesaiannya, bahkan diabaikan.

“Rasa sakit atas kehilangan orang itu sangat besar dirasakan oleh orang-orang sekitar karena statusnya yang tidak jelas. Disebut meninggal tidak bisa, disebut masih hidup juga tidak bisa. banyak ibu yang tidak mampu menjelaskan status keberadaan ayah anaknya,” terang Husna.

Yang lebih miris, sering muncul praktik di mana anak-anak korban tidak dapat diberikan bantuan karena mereka bukan berstatus yatim.

“Itulah mengapa, korban penghilangan orang secara paksa adalah mereka yang dihilangkan dan juga menimpa orang terdekat di sekelilingnya (keluarga). Sehingga korban kasus ini tidak dapat disamakan dengan pelanggaran HAM lainnya,” tandas Husna.[]


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda