Beranda / Berita / Aceh / Pedoman Manajemen Penanganan Covid-19, Ini Masukan Pengamat

Pedoman Manajemen Penanganan Covid-19, Ini Masukan Pengamat

Kamis, 30 April 2020 14:39 WIB

Font: Ukuran: - +

Dr Nasrul Zaman. [Foto: dok AtjehWatch]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi Kesehatan Masyarakat dan Pengamat Kebijakan Publik, Dr Nasrul Zaman menyampaikan beberapa analisis terkait pedoman manajemen bagi pemerintah daerah dalam penanganan Covid-19 dan dampaknya, yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI.

"Analisis kritis ini dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang mendorong peningkatan partisipasi lebih besar dari masyarakat dalam program penanganan dan pencegahan Covid-19. Hal ini mendesak dilakukan mengingat tenaga kesehatan pemerintah masih sangat terbatas jumlahnya dan anggaran yang tersedia juga terbatas," jelas Nasrul kepada Dialeksis, Kamis (30/4/2020).

Dari 5 bab yang ada, analisis ini lebih melihat pada dua bagian saja yaitu strategi pencegahan dan strategi peningkatan kapasitas sistem kesehatan. Sedangkan 3 bab lainnya yakni strategi peningkatan sistem kekebalan tubuh, strategi peningkatan ketahanan pangan dan industri alat kesehatan serta strategi memperkuat jaring pengamanan sosial nasional sudah cukup terperinci dan operasional bagi pemerintah daerah, kabupaten dan kota untuk dapat segera diimplementasikan dalam upaya pencegahan dan penanana Covid-19.

Beberapa ruang yang belum kuat mungkin untuk bisa lebih melengkapi dalam pedoman tersebut, seperti dicoba diuraikan di bawah ini.

Pertama, strategi pencegahan Covid-19. Pedoman protokol pencegahan dan penanganan covid 19 kurang mengaktifkan struktur pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat dan daerah kabupaten/kota, mulai dari dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas, poskesdes dan posyandu.

Akibatnya hal tersebut belum mampu memperkuat ruang sosialisasi, peran dan tanggung jawab para pihak yang dalam pedoman diakui sebagai elemen penting dalam penegahan Covid-19. "Strategi dalam pedoman ini belum secara teknis operasional mendorong sumber daya puskesmas dan poskesdes menjadi ujung tombak pencegahan dan penanganan pada tahap awal Covid-19," jelas Nasrul.

Pada bagian sosialisasi juga, lanjutnya, belum mewajibkan dan menuliskan keterlibatan pihak diluar pemerintah daerah misalnya pihak ormas, OKP, institusi pendidikan dan LSM dan kelompok swadaya masyarakat yang ada di masyarakat.

"Aceh misalnya memiliki 120 PTN dan PTS dengan 126.000 mahasiswa dengan 8.600 tenaga pendidik dan jika ditambahkan dengan struktur pendamping desa maka terdapat ribuan tenaga yang bisa dengan cepat digerakkan menjadi tenaga penyuluh kesehatan terutama untuk peningkatan edukasi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan Covid-19 secara mandiri maupun komunal," ungkapnya.

"Selain itu juga pedoman ini belum mendorong struktur pemerintah desa dan pranata sosial masyaraat untuk aktif dalam hal pencegahan, seharusnya pemerintah desa dan organisasi di tingkat desa adalah ujung tombak pencegahan dengan menjadi deteksi dini terhadap adanya masuk dan keluarnya seseorang di desa yang dapat menjadi ODP bahkan PDP," tambahnya.

Mekanisme dalam pencegahan, lanjut Nasrul, seharusnya juga mendorong penguatan kolaborasi antara pemerintah desa dengan pihak puskesmas sebagai ujung tombak pencegahan dan penanganan covid 19 yang strategis, efektif dan berkelanjutan. Selain memiliki tenaga kesehatan yang terampil, puskesmas juga memiliki tenaga surveillance yang dapat berperan memantau dan menghitung sebaran paparan covid 19 pada satu daerah jika telah terdapat satu saja warga positif Covid-19.

"Termasuk dalam upaya PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) puskesmas juga telah memiliki tenaga terampil dan jika ditambah dengan struktur pendamping desa dan seluruh lembaga pendidikan kesehatan yang ada di seluruh kabupaten kota, maka sejatinya semua sumber daya tersebut dapat digerakkan menjadi tenaga penyuluh kesehatan yang bekerja terstruktur, sistematis dan massif untuk peningkatan cakupan keluarga berPHBS yang selama ini masih rendah," jelasnya.

Kedua, penguatan kapasitas sistem kesehatan. Di satu sisi bab pedoman penguatan kapasitas sistem kesehatan ini belum secara terperinci membagi ruang tanggung jawab dan peran-peran yang bisa dilakukan oleh struktur pelaksana kesahatan masyarakat di daerah yaitu pihak dinas kesehatan kabupaten kota, puskesmas dan poskesdes/posyandu atau belum membagi peran lain yang bisa dilakukan oleh pihak diluar pemerintah setempat.

"Oleh karena itu terbuka peluang bagi pemerintah daerah, kabupaten dan kota mendetailkan strategi yang dibutuhkan misalnya tentang kebutuhan tenaga surveillance, promosi kesehatan dan tenaga kesehatan lingkungan," jelasnya.

"Target penguatan yang belum terperinci dan mengambang juga memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan diversifikasi strategi terhadap struktur kesehatan yang perlu dikuatkan selain melengkapi sarana dan prasarana pelayanan kesehatan," tambahnya.

Kekurangan utama dalam bab pedoman ini belum secara tegas menyebut memperkuat sarana dan memperkuat penganggaran puskesmas dan poskesdes untuk setiap kegiatan yang berhubungan dengan Covid-19.

"Oleh karena itu, berdasarkan analisis kritis pedoman kedua strategi tersebut diatas masih terlihat ruang dan peran yang harus diisi dan diperkuat kembali oleh pemerintah daerah baik level provinsi maupun kabupaten kota sesuai karakteristik dan sumber daya yang dimiliki serta dibutuhkan kemampuan modifikasi dan intensifikasi serta kreatifitas program dan kegiatan yang kontekstual dan strategis di wilayah masing-masing seperti sebahagian yang telah dituliskan dalam analisis tersebut di atas," ujar Nasrul.

"Inovasi dan kreatifitas daerah ini dimungkinkan karena dalam pedoman tersebut tidak terdapat larangan bagi pemerintah daerah melengkapi lebih terperinci setiap detail pedoman agar lebih efektif dan efesien dalam kegiatan pencegahan dan penanganan Covid-19 di daerah masing-masing," pungkasnya. (sm)

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda