DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah derasnya arus digitalisasi, teknologi kini tak lagi sekadar alat hiburan, melainkan peluang besar untuk mengakselerasi budaya baca di Aceh.
Hal inilah yang diyakini oleh Jamalidiana, Ratu Baca II Kabupaten Aceh Besar 2025, yang juga menjabat sebagai Direktur Taman Baca Masyarakat (TBM) Pondok Baca Al-Munawwarah dan Pengelola Perpustakaan Kecamatan Montasik.
Menurutnya, peran teknologi dalam meningkatkan literasi masyarakat sangatlah signifikan apabila diarahkan secara tepat.
“Sebagai Ratu Baca sekaligus pengelola TBM dan perpustakaan, saya melihat teknologi memiliki peran yang sangat besar dalam meningkatkan literasi masyarakat, asalkan digunakan dengan arah yang tepat,” ujarnya kepada media dialeksis.com, Sabtu (11/10/2025).
Ia menjelaskan, di era digital saat ini, literasi tidak lagi terbatas pada membaca buku cetak semata, melainkan juga mencakup kemampuan memahami dan mengelola informasi dari berbagai sumber digital.
"Melalui teknologi, akses terhadap bahan bacaan menjadi jauh lebih luas. Kini siapa pun bisa membaca e-book, artikel edukatif, hingga mengikuti platform literasi digital tanpa batas ruang dan waktu,” tambah Jamalidiana.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa kemudahan ini harus diimbangi dengan pemanfaatan yang bijak. Banyak anak muda di Aceh, katanya, lebih sering menggunakan gawai untuk hiburan ketimbang belajar.
“Karena itu, tugas kita para pegiat literasi adalah bagaimana menjadikan teknologi sebagai jembatan, bukan penghalang. Misalnya dengan membuat konten literasi yang menarik di media sosial, mengadakan kelas daring, atau mengintegrasikan kegiatan membaca dengan platform digital agar lebih dekat dengan generasi muda,” ungkapnya.
Bagi Jamalidiana, kunci kemajuan literasi digital adalah perubahan paradigma. “Kita harus mulai mengubah diri dari sekadar pengguna teknologi menjadi pencipta dan pemanfaat teknologi untuk literasi. Anak-anak muda Aceh punya potensi besar jika diarahkan ke ranah produktif seperti membuat blog, kanal baca interaktif, atau komunitas digital literasi,” ujarnya.
Menurutnya, perubahan paradigma ini bisa dimulai dari lingkungan kecil dari rumah, sekolah, hingga TBM. Dengan dukungan program-program kreatif, masyarakat akan melihat membaca bukan lagi aktivitas membosankan, melainkan gaya hidup yang menyenangkan.
Lebih jauh, Jamalidiana juga melihat pentingnya peran pemerintah dan lembaga perpustakaan dalam memperkuat budaya baca di Aceh. Ia menilai, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci agar gerakan literasi tidak berjalan sendiri-sendiri.
“Pemerintah perlu menguatkan kolaborasi antara sekolah, TBM, komunitas literasi, dan perpustakaan agar gerakan membaca lebih terintegrasi. Kalau semua bergerak bersama dari tingkat desa, kabupaten/kota, hingga provinsi, dampaknya akan jauh lebih besar,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya pemerataan fasilitas literasi, terutama di pedesaan. “Banyak masyarakat di Aceh yang minat bacanya tinggi, tapi akses ke bahan bacaan masih terbatas. Maka, perpustakaan keliling, sudut baca digital, dan dukungan bagi TBM di pelosok adalah langkah konkret yang harus diperkuat,” ujarnya.
Selain itu, ia berharap pemerintah dapat menyelenggarakan pelatihan literasi digital rutin bagi pengelola perpustakaan dan masyarakat.
“Di era ini, literasi tidak hanya tentang membaca teks, tapi juga kemampuan memahami, memverifikasi, dan memproduksi informasi secara bijak di ruang digital,” tambah Jamalidiana.
Sebagai pengelola TBM Pondok Baca Al-Munawwarah dan Perpustakaan Kecamatan Montasik, Jamalidiana percaya bahwa masa depan literasi Aceh terletak pada kolaborasi.
“Ketika pemerintah, pegiat literasi, dan masyarakat berjalan bersama, maka indeks literasi di Aceh bukan hanya akan meningkat di angka, tetapi juga dalam kualitas berpikir dan kesadaran membaca masyarakatnya,” tutupnya. [nh]