DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Nama Rusli Arafika, atau yang akrab disapa Apa Gense, mungkin masih melekat di ingatan masyarakat Aceh yang tumbuh di era 1990-an.
Ia adalah salah satu pelawak dan seniman tradisional yang mewarnai panggung-panggung hiburan Aceh dengan gaya khasnya jenaka, sederhana, tapi sarat makna.
Kini, di usianya yang tak lagi muda, Apa Gense masih setia dengan dunia seni, meski dengan nada getir ia mengakui menjadi seniman di Aceh kini jauh lebih sulit dibanding dulu.
“Dulu waktu berseni di masa Pak Gubernur Ibrahim Hasan, semuanya mudah. Izin tampil gampang keluar, pemerintah juga mendukung kegiatan seni. Karena kami seniman waktu tampil itu selalu mengangkat nama pemerintah, membicarakan pembangunan, pesan kemanusiaan, dan nasihat untuk masyarakat,” tutur Apa Gense kepada media dialeksis.com, di Banda Aceh, Minggu (12/10/2025).
Namun, katanya, situasi kini berubah drastis. “Sekarang susah sekali. Gara-gara izin. Semua serba pakai izin, dari A, dari B, bahkan MPU pun harus ada izinnya. Ditanya lagi, mau tampil apa, tujuannya apa. Kadang bisa masuk, tapi nanti disuruh pisahkan antara laki-laki dan perempuan. Itu memang harus, tapi yang aneh, kalau acara besar dari pemerintah, pisahan itu kadang tak berlaku,” keluhnya.
Menurutnya, aturan yang terlalu ketat justru membuat seniman rakyat seperti dirinya terpinggirkan. Acara-acara kebudayaan rakyat, yang dulu bisa dengan mudah digelar di lapangan, kini sering tertahan di meja birokrasi.
“Kalau acara besar di Lapangan Blang Padang, banyak yang tak pisah penonton laki-laki dan perempuan. Tapi kalau kami yang rakyat kecil ini yang buat acara, banyak betul peraturan. Belum lagi izin keramaian yang susah keluar. Kadang ditolak karena dianggap tak memenuhi syarat,” ujarnya.
Selain soal izin, persoalan biaya sewa tempat juga menjadi beban berat bagi para seniman lokal. Apa Gense mengaku bahwa penggunaan fasilitas publik seperti Taman Sari atau Taman Budaya Aceh sering kali dikenakan biaya sewa yang tidak ringan.
“Kalau bisa, untuk seniman janganlah terlalu banyak minta sewa. Sewa itu mahal, kami ini rakyat kecil. Kalau nggak sewa, nggak boleh pakai. Kadang ada juga fee tambahan, tapi kita pun nggak tahu itu untuk apa. Yang jelas, semua harus bayar,” katanya.
Dalam perbincangan yang sarat nostalgia itu, Apa Gense juga menyinggung realitas getir yang dialami para pelaku seni tradisional Aceh.
“Dari zaman ke zaman, tak ada seniman tradisional yang bisa hidup dari seninya saja. Semua punya pekerjaan lain. Ada yang jualan, ada yang kerja di kantor, ada yang jadi buruh. Tak ada yang bisa hidup hanya dari melawak atau main rapai,” ungkapnya.
Menurutnya, bayaran untuk seniman lokal kerap kali tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang mereka curahkan.
“Habis turun panggung, paling-paling cuma dapat uang cuci baju. Itu saja dibagi lagi untuk anggota grup. Jadi kami sebutnya bukan uang makan, tapi uang ‘peng sabun’,” ujarnya sambil tertawa kecil tawa getir seorang pelawak yang masih berusaha menemukan humor dalam kenyataan yang pahit.
Meski dunia seni tradisional makin terpinggirkan oleh zaman, Apakan Gense mengaku tetap aktif berinteraksi dengan masyarakat lewat media sosial.
“Saya tak main YouTube, tapi kalau di Facebook, saya masih aktif. Kadang buat video singkat supaya orang tahu kalau Apakan Gense masih hidup, masih sehat. Banyak yang kangen, banyak yang tanya, ‘Masih ada kah dia?’ Nah, saya buat video supaya tahu, masih ada, masih bisa melawak,” katanya dengan senyum lebar.
Bagi Apa Gense, seni bukan sekadar profesi, tapi panggilan hati. Ia berharap pemerintah memberi perhatian lebih kepada seniman-seniman lokal, terutama dalam kemudahan izin dan penyediaan fasilitas.
“Kami tak minta banyak. Cukup beri kemudahan izin, dan ruang tampil yang wajar. Karena seni ini juga bagian dari dakwah, bagian dari budaya kita. Kalau terlalu dibatasi, lama-lama hilanglah tradisi itu,” tutupnya. [nh]