kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Pembentukan Tim PPHAM, Ini Sikap KKR Aceh

Pembentukan Tim PPHAM, Ini Sikap KKR Aceh

Selasa, 25 Oktober 2022 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Fatur

Ketua KKR Aceh, Mastur Yahya. [Foto: KKR Aceh]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) menjadi Pro dan Kontra dikalangan masyarakat. 

Tepatnya Senin (24/10/2022), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh melakukan konferensi pers terkait hadirnya Keppres 17/2022 atau pembentukan Tim PPHAM.

Dalam konferensi persnya, Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul dengan tegas menolak hadirnya Keppres tersebut atau pembentukan Tim PPHAM.

Menurutnya, Keppres 17/2022 Tentang PPHAM ini dinilai oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh adalah Preseden Buruk Kebijakan Negara Dalam Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Ia mengatakan, hadirnya Keppres 17/2022 seperti negara sedang cuci tangan daripada pelanggaran HAM berat masa lalu. “Keppres 17/2022 ini sangat bertentangan dengan UU HAM dan UU Pengadilan HAM,” tegasnya.

Menanggapi itu, Dialeksis.com Selasa (25/10/2022), langsung menjumpai Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Mastur Yahya langsung di Kantor KKR Aceh, Banda Aceh sekitar pukul 14.30 WIB.

“Kalau Keppres ini dimaksudkan sebagai bentuk perhatian kepada korban untuk dipulihkan hak-haknya, barangkali itu boleh kita pandang sebagai itikad baik negara yang memberikan perhatian yang lebih terhadap peristiwa-peristiwa berat HAM masa lalu,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Selasa (25/10/2022).

Katanya, khusus untuk Aceh sudah ada peristiwa yang sudah dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM yakni, peristiwa Simpang KKA, Jambo Keupok, dan Rumoh Geudong 1989.

“Barangkali negara merasa perlu lebih tegas perhatiannya kepada korban, sembari menunggu penyidikan oleh Kejaksaan Agung, itu kita sikapi secara positif dan negara harus hadir terhadap korban,” tukasnya.

Namun, lanjutnya, karena disini data yang digunakan oleh PPHAM itu adalah data Komnas HAM yang dimana data Komnas HAM itu Yudisial bukan Non Yudisial, tentu ini menjadi tanda tanya besar.

“Disinilah terjadi debatnya mungkin, karena Komnas HAM itukan datanya Yudisial. Bagaimana jaminannya nanti keberlanjutan penyidikan terhadap pelaku itu dianggap berhenti atau selesai. Tapi kalau memang betul-betul ini bukan untuk meniadakan hal tersebut saya kira tidak masalah,” sebutnya.

“Dan ini menjadi tanggung jawab kita semua, dan khusus untuk Aceh, kami itu berkepentingan dengan istilah Non Yudisial yang dimana mandat KKR Aceh itu Non Yudisial dan kami telah mengumpul lebih dari 5.000 data dalam kategori menurut Qanun yang bukan pelanggaran HAM berat,” jelasnya.

Lebih lanjutnya, Ia mengatakan, KKR Aceh juga tidak mengecualikan jika dalam melaksanakan tugasnya mendapatkan derajatnya termasuk dalam kategori Pelanggaran HAM berat akan diinformasikan kepada Komnas HAM.

“Alangkah baiknya, KKR Aceh dilibatkan dalam penyediaan data yang sudah dikumpulkan secara kewenangan Non Yudisialnya,” ucapnya.

Ia mengungkapkan sejauh ini pihaknya (KKR Aceh) dan Tim PPHAM belum bertemu sama sekali. “Jika ditanya sikap KKR Aceh, maka inilah sikap kami. Kami mengakomodir tim PPHAM dengan masukan ataupun komitmen bahwa Tim PPHAM juga mengambil data yang sudah dikumpulkan oleh KKR Aceh,” ujarnya lagi.

Mastur mengatakan, walaupun KKR Aceh itu letaknya di Aceh, lembaga ini dibentuk oleh Undang-undang negara artinya korban-korban yang sudah didata itu adalah milik negara sekarang.

“Tidak ada bedanya dengan data yang sudah dimiliki oleh Komnas HAM, yang membedakan itu Komnas HAM itu data Yudisial dan KKR Aceh Non Yudisial,” pungkasnya. [ftr/bna]


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda