kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Pembuatan Qanun Pengelolaan Bubu Ikan Karang, Solusi Konflik Antar-Nelayan di Aceh Barat

Pembuatan Qanun Pengelolaan Bubu Ikan Karang, Solusi Konflik Antar-Nelayan di Aceh Barat

Senin, 23 September 2024 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Dosen Perikanan UTU mengadakan kegiatan FGD yang bertujuan untuk merumuskan qanun (aturan) terkait pemanfaatan dan pengelolaan teknologi bubu ikan karang berbasis sumber daya lokal pada Ahad (22/9/2024). [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Perikanan Universitas Teuku Umar (UTU) mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang bertujuan untuk merumuskan qanun (aturan) terkait pemanfaatan dan pengelolaan teknologi bubu ikan karang berbasis sumber daya lokal. 

Acara yang digelar pada Ahad (22/9/2024), ini berlangsung di Balai Pertemuan Desa Ujong Drien, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat. 

Kegiatan tersebut merupakan bagian dari program pengabdian masyarakat bertajuk "Pemberdayaan Nelayan Tradisional Lhok Meureubo dalam Pemanfaatan Teknologi Bubu Ramah Lingkungan untuk Peningkatan Hasil Tangkapan Ikan Karang di Perairan Aceh Barat."

Program ini dibiayai melalui hibah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Republik Indonesia tahun 2024. 

Dipimpin oleh akademisi UTU, Afdhal Fuadi, S.Pi., M.Si, kegiatan ini melibatkan anggota tim Rosi Rahayu, S.Pi., M.Si, Rusdi, M.Si, serta teknisi lapangan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Barat. Juga, turut membantu teknisi laboratorium dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Teuku Umar.

FGD ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemilik kapal dan nelayan tradisional yang aktif dalam perikanan bubu ikan karang di wilayah Lhok Meureubo, Aceh Jaya. 

Partisipasi ini juga diperkuat oleh tim akademisi UTU, teknisi dari DKP Aceh Barat, dan mahasiswa yang tergabung dalam program magang Bina Desa. 

Sinergi antara akademisi, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal bertujuan untuk menciptakan kebijakan yang tepat guna bagi pengelolaan sumber daya kelautan di wilayah tersebut.

Diskusi yang berlangsung dalam suasana partisipatif dan konstruktif menghasilkan dukungan penuh dari para nelayan terhadap pembuatan qanun pemanfaatan teknologi bubu dasar untuk menangkap ikan karang. 

Teknologi ini dianggap ramah lingkungan dan berkelanjutan, sehingga para nelayan tradisional dapat meningkatkan hasil tangkapan tanpa merusak ekosistem laut. 

Salah satu isu utama yang dibahas adalah pentingnya metode hauling bubu, pemilihan fishing ground (daerah penempatan bubu), dan perawatan bubu dengan mengganti atraktor daun pinang dan kelapa secara berkala.

Pembuatan qanun ini tidak hanya bertujuan untuk melindungi ekosistem laut, tetapi juga untuk meminimalisir konflik antar-nelayan yang sering terjadi dalam memanfaatkan teknologi penangkapan ikan karang.

Seiring dengan itu, qanun tersebut didasarkan pada kearifan lokal yang ada, sehingga diharapkan dapat menjadi panduan yang efektif dalam mengatur pemanfaatan teknologi bubu di Aceh Barat. 

Panglima Laot, sebagai tokoh yang sangat dihormati dalam adat maritim Aceh, juga turut serta dalam diskusi ini. 

Hal ini memastikan bahwa aturan yang dihasilkan tidak hanya relevan secara teknis, tetapi juga sesuai dengan norma sosial yang ada di masyarakat pesisir Aceh.

Menurut Afdhal Fuadi, ketua tim akademisi yang memimpin FGD ini mengatakan, pembuatan qanun ini diharapkan dapat memberikan pedoman yang jelas bagi para nelayan dalam memanfaatkan teknologi bubu yang lebih modern dan ramah lingkungan. 

"Dengan adanya aturan yang jelas, kita bisa mencegah konflik antar-nelayan sekaligus menjaga kelestarian sumber daya ikan karang di Aceh Barat," ujarnya.

Lebih lanjut, Afdhal juga menekankan pentingnya pemahaman terhadap pemanfaatan teknologi bubu yang sesuai dengan kondisi lokal. 

Nelayan tradisional harus memahami cara terbaik untuk memaksimalkan penggunaan bubu, mulai dari penempatan hingga perawatannya, agar alat tersebut tetap efektif dan bertahan lama. 

Dalam hal ini, teknologi bubu yang diperkenalkan diharapkan dapat mendukung kemandirian para nelayan dalam hal peralatan penangkapan ikan.

Selain perwakilan dari akademisi dan nelayan, mahasiswa UTU yang tergabung dalam program magang Bina Desa juga ikut terlibat aktif dalam pelaksanaan kegiatan ini. 

Peran mereka sangat penting dalam membantu menyukseskan kegiatan pengabdian, sekaligus memberikan pengalaman langsung bagi mahasiswa mengenai peran mereka di masyarakat.

Salah satu mahasiswa yang ikut dalam kegiatan ini, Ali Hamzah, mengungkapkan, ia sangat senang bisa terlibat dalam kegiatan ini. 

"Sebagai generasi muda, kami belajar banyak tentang pentingnya menjaga ekosistem laut dan bagaimana teknologi ramah lingkungan seperti bubu dapat digunakan untuk kepentingan nelayan lokal," ujarnya.

Dengan keterlibatan penuh dari berbagai pihak, FGD ini diharapkan tidak hanya menghasilkan sebuah qanun yang kuat dan komprehensif, tetapi juga dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan. 

Keberhasilan dari penerapan qanun ini akan menjadi cerminan dari kerjasama yang solid antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat lokal dalam menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan.

Pada akhirnya, kegiatan FGD ini menjadi langkah awal yang penting dalam upaya pemberdayaan nelayan tradisional di Aceh Barat. 

Dengan adanya regulasi yang jelas dan dukungan dari semua pihak, diharapkan teknologi bubu ramah lingkungan ini dapat terus dikembangkan dan menjadi solusi berkelanjutan untuk perikanan ikan karang di wilayah Aceh. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda