kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Penantian Panjang Selama Tiga Dekade Itu bernama UU Pemajuan Kebudayaan

Penantian Panjang Selama Tiga Dekade Itu bernama UU Pemajuan Kebudayaan

Senin, 18 Februari 2019 16:40 WIB

Font: Ukuran: - +

Teuku Riefky Harysa (Foto : Aktual)

DIALEKSIS.COM –Setelah menunggu selama tiga dekade atau kurang lebih 35 tahun lamanya, Indonesia Akhirnya memiliki instrumen regulasi dalam mendorong kekayaan kebudayann nusantara. Adalah UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan kebudayaan yang disahkan pada selang setahun lalu lalu, tepatnya pada 27 April 2017  yang ditunggu oleh banyak pihak, terutama pegiat kebudayaan serta pihak pihak yang concern terhadap upaya merawat dan melestarikan warisan budaya nusantara. UU Pemajuan Kebudayaan ini sendiri merupakan s amanat UUD 1945, Pasal 32 Ayat 1.

Proses penyusunan UU ini termasuk alot, karena melibatkan berbagai pihak, terutama budayawan dan pebisnis. Kendati masuk dalam program legislasi nasional 2016 lalu, RUU yang intinya akan mengatur, mengembangkan dan memelihara nilai-nilai budaya nasioal ini tak kunjung rampung.

Meski demikia semenjak ditetapkan masuk Prolegnas prioritas tahun 2015 lalu, Komisi X yang ketika itu dipimpin oleh putra Aceh, Teuku Riefky Harsya dari fraksi Partai Demokrat bergerak cepat membentuk panitia kerja (Panja) penyusunan RUU Kebudayaan.

Setelah Panja menyelesaikan naskah RUU tersebut, dilakukan rapat-rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) untuk pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi

Teuku Riefky Harsya menyatakan selama tiga dekade wacana tentang Undang-undang (UU) Kebudayaan menjadi bahan pembicaraan.  Namun akhirnya berkat dukungan banyak pihak dan setelah melalui proses yang panjang, DPR akhirnya mengesahkan RUU Pemajuan Kebudayaan menjadi Undang-Undang.

"Dukungan terhadap pemajuan kebudayaan merupakan investasi dalam membangun peradaban bangsa. Paradigma yang menyatakan dukungan terhadap kegiatan kebudayaan merupakan pembiayaan semata, harus kita tinggalkan," terang Riefky.

Pembahasan RUU Pemajuan Kebudayaan melibatkan banyak pihak, seperti Kementerian Pariwisata, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Agama, dan Kementerian Hukum dan HAM. Kemendibud menjadi koordinator tim antarkementerian.

Ketua Komisi X DPR RI Teuku Riefky Harsya menyampaikan, terdapat 9 manfaat yang diperoleh masyarakat dari pokok-pokok bahasan atau norma-norma saat RUU ini disahkan menjadi UU.

Yakni, kebudayaan sebagai investasi bukan biaya, sistem pendataan kebudayaan terpadu, pokok pikiran kebudayaan daerah, strategi kebudayaan; rencana induk pemajuan kebudayaan, dana perwalian kebudayaan, pemanfaatan kebudayaan, penghargaan dan sanksi. UU Pemajuan Kebudayaan terdiri atas IX  Bab dan 61 pasal.

Dengan terintegrasinya program kerja dan pendanaan terhadap pemajuan kebudayaan, lanjut dia, diyakini tidak hanya akan mendukung kelestarian budaya nusantara. Akan tetapi juga akan menjadi stimulus terbukanya lapangan pekerjaan, berputarnya roda perekonomian serta pada ahirnya meningkatkan pendapatan daerah dan negara.

Dalam hal mengantisipasi keterbatasan dana APBD dan APBN, disampaikan bahwa undang-undang tersebut membuka ruang partisipasi masyarakat. Baik perorangan maupun korporasi untuk berpartisipasi membantu pendanaan kegiatan pemajuan kebudayaan kabupaten/ kota dan propinsi, melalui pembentukan Lembaga Wali Amanat, sehingga dapat berjalan secara berkesinambungan.

Riefky menambahkan, Lembaga Wali Amanat yang akan dibentuk mengacu kepada Perpres Nomor 80 tahun 2011 tentang dana perwalian. Lembaga ini akan bertugas mengelola dan menyalurkan aset finansial yang bersumber dari orang atau lembaga, termasuk APBN dan APBD yang difokuskan kepada 10 objek pemajuan kebudayaan.

"10 objek pemajuan kebudayaan itu antara lain tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan traditional, teknologi tradisional, bahasa, permainan rakyat dan olah raga tradisional," jelasnya. (PD)




Keyword:


Editor :
Pondek

riset-JSI
Komentar Anda