kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Peneliti CSIS: Penunjukan PJ Kepala Daerah dari TNI/Polri Menabrak Konstitusi

Peneliti CSIS: Penunjukan PJ Kepala Daerah dari TNI/Polri Menabrak Konstitusi

Sabtu, 18 Juni 2022 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : akhyar

Peneliti Publik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta D Nicky Fahrizal. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Reformasi konstitusi dan politik pada tahun 1998 secara fundamental telah mengubah beberapa struktur dasar Negara Republik Indonesia, salah satunya adalah pengokohan kembali supremasi sipil dalam sistem ketatanegaraan.

Dengan adanya penetapan TAP MPR No. VI/MPR/2000 serta pengesahan UU No. 34/2004 tentang TNI dan UU No. 2/2002 tentang Polri sehingga sejak saat itu supremasi sipil menjadi doktrin yang tidak terelakkan dalam kaitannya dengan kendali sipil atas kekuatan militer.

Peneliti Publik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta D Nicky Fahrizal sebagaimana dikutip dari Harian Kompas mengatakan, doktrin supremasi sipil saat ini sedang dihadapkan dengan isu konstitusional yang sangat krusial dengan adanya kebijakan pemerintah yang menunjuk prajurit aktif TNI sebagai penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat.

Menurutnya, kebijakan penunjukan itu bertentangan dengan semangat reformasi politik dan konstitusi tahun 1998, yang mana TNI/Polri tidak lagi terlibat dalam kepentingan politik.

“Terdapat sejumlah regulasi dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diabaikan perihal pengangkatan prajurit aktif itu sebagai Pj kepala daerah,” ujar Nicky sebagaimana dikutip dari Harian Kompas, Sabtu (18/6/2022).

Nicky menegaskan, seorang perwira aktif, baik dari kalangan TNI maupun Polri, yang hendak mengisi jabatan di posisi Pj Kepala Daerah wajib mengundurkan diri.

Ditambakan, munculnya penunjukan Pj Kepala Daerah dari unsur TNI/Polri disebabkan konsekuensi kontes Pilkada yang dilaksanakan secara serentak pada athun tahun 2024.

“Untuk memetakan persoalan konstitusi, harus kita pahami bahwa isu tersebut merupakan konsekuensi politik hukum dari Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada November 2024 nanti,” ucapnya.

Menanggulangi Konsekuensi Pilkada Serentak

Peneliti CSIS itu mengatakan, terdapat tiga hal yang perlu ditanggulangi dari dampak pemberlakuan Pilkada serentak.

Pertama, apabila tidak ada penunjukan, maka akan terjadi kekosongan jabatan kepala daerah. Dampaknya akan tersendat segala pelayanan publik.

Kedua, pengisian jabatan tersebut mengisyaratkan adanya kriteria khusus. Landasan hukum yang berlaku sudah ditetapkan bahwa Jabatan Tinggi (JPT) Madya untuk Pj gubernur, dan JPT Pratama untuk Pj bupati/walikota.

Ketiga, dengan adanya kriteria khusus tersebut maka posisi Pj lebih terbuka peluang bagi semua JPT, baik dari unsur PNS maupun non-PNS untuk diseleksi sebagai Pj kepala daerah.

Diperlukan Kejelasan Regulasi

Nicky menambahkan, akibat lanskap perubahan soiopolitik dan tuntutan yang tinggi pada pelayanan publik maka doktrin supremasi sipil telah mengalami transformasi seiring dengan berkembangnya organisasi pemerintahan.

Meski demikian, kata dia, jika pemerintah ingin menunjuk Pj dari unsur TNI/Polri, maka disarankan agar pemerintah merumuskan sesegera mungkin suatu regulasi yang mampu menjelaskan hal-hal apa saja yang dibutuhkan untuk mengakomodasi Pj Kepala daerah dari unsur TNI/Polri.

“Sebab sejatinya hal ini merupakan kondisi politik yang konkret, yang tak hanya terjadi pada saat ini saja tetapi merupakan pengulangan kebijakan pada tahun 2018,” pungkasnya. (Akhyar)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda