Peneliti JSI: Ada 3 Alasan Demokrasi Kian Tergerus di Era Jokowi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Hakim
Saddam Rassanjani S.IP., M.Sc. [Foto: Ist.]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis laporan indeks demokrasi 2020 yang ke-13. Indonesia menempati urutan ke-64 dari 167 negara.
Dalam laporan EIU disebutkan, pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak negara mengalami kemunduran dalam demokrasi. Misalnya, sejumlah negara melakukan pencabutan kebebasan sipil, serangan terhadap kebebasan berekspresi, dan gagal dalam akuntabilitas demokrasi.
Secara global, Indonesia berada di peringkat 64 dari 167 dengan skor 6,30. Artinya Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy atau demokrasi tidak sempurna. Meski peringkat Indonesia sama dengan tahun 2019, skornya turun dan merupakan yang terendah sejak 2006.
Setelah mencapai puncaknya pada 2015 di awal-awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, indeks demokrasi terus merosot, namun masih tetap dalam satu kategori, yakni demokrasi tak sempurna. Pada 2010, Indonesia berada di peringkat kedua di bawah Thailand. Kini, Indonesia kalah dari Malaysia dan Filipina. Thailand juga merosot ke posisi ke-4.
Dua dari 5 indikator indeks demokrasi untuk Indonesia turun cukup tajam dalam 10 tahun belakangan, yakni indikator kebebasan sipil dan budaya politik yang turun lebih dari 20 persen.
Menanggapi hal ini, Peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI) Saddam Rassanjani S.IP., M.Sc mengatakan setidaknya terdapat beberapa alasan utama mengapa indeks demokrasi Indonesia kian tergerus di era Jokowi.
Pertama, sistem check and balances yang kian tidak efektif. Koalisi partai pendukung Jokowi terus menggemuk, terutama sejak pihak oposisi ditinggal oleh mesin utama (Gerindra), Prabowo-Sandi malah merapat ke kubu sebelah dengan kebagian jatah kursi menteri. PAN dikabarkan juga akan segera gabung koalisi. Dengan begitu hanya menyisakan dua partai saja, yaitu PKS dan Demokrat.
Kedua, independensi media kadangkala dipertanyakan. Media dikuasai oleh elit politik yang sarat akan kepentingan, kadangkala berita tidak sesuai fakta, media framing cukup memanjakan penguasa dan kejam dalam menyerang lawan politik.
Ketiga, lanjut Dosen Ilmu Pemerintahan USK ini, masyarakat merasa terkekang dalam menyatakan pendapat. Walaupun pada hakikatnya bagus untuk menjaga tata krama dalam bersosial media, keberadaan UU ITE cukup meresahkan masyarakat, terutama beberapa pasal UU ITE yang bisa mengakibatkan masyarakat dengan mudahnya terjerat dan dipidanakan. [HKM]