Minggu, 28 September 2025
Beranda / Berita / Aceh / Penelitian UTU: Limbah Tambang Emas Cemar Sungai Krueng Sabee

Penelitian UTU: Limbah Tambang Emas Cemar Sungai Krueng Sabee

Minggu, 28 September 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Sungai Krueng Sabee yang dilaporkan mulai tercemar merkuri. Foto: Chik Rini/Mongabay 


DIALEKSIS.COM | Calang - Sungai Krueng Sabee yang membelah Kabupaten Aceh Jaya tak lagi sesegar dulu. Di balik kejernihan alirannya, para peneliti menemukan jejak logam berat yang mengancam. 

Sebuah riset terbaru yang dilakukan oleh Iwandikasyah Putra, Sufardi, Teuku Alvisyahrin, dan Amda Resdiar dari Universitas Teuku Umar (UTU) menunjukkan bahwa sungai itu tercemar merkuri, sisa limbah dari aktivitas pengolahan emas rakyat.

Hasil penelitian yang dimuat dalam Jurnal Agrotek Lestari vol 7, No 2 tahun 2021 itu cukup mencemaskan. Sampel yang diambil pada tiga titik hulu, tengah, dan hilir menunjukkan fakta berbeda. Air sungai masih berada di bawah ambang batas kualitas air. Namun, sedimen dan biota perairan justru menyimpan kadar merkuri jauh di atas standar pencemar maksimum. “Konsentrasi merkuri yang tinggi di lingkungan perairan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat sekitar,” tulis para peneliti.

Merkuri bukanlah zat asing dalam dunia pertambangan emas tradisional. Logam berat ini kerap dipakai untuk memisahkan emas dari batuan. Masalahnya, sisa proses itu mengalir begitu saja ke sungai tanpa pengolahan. Zat beracun ini lalu mengendap di dasar sungai, terserap ke tubuh ikan dan organisme air lainnya, lalu masuk ke rantai makanan.

Akibatnya bisa panjang. Paparan merkuri jangka panjang bisa memicu gangguan saraf, kerusakan organ, hingga menghambat pertumbuhan anak-anak. Bagi masyarakat Krueng Sabee yang sehari-hari memanfaatkan air sungai dan mengonsumsi ikan tangkapan setempat, risiko itu nyata.

Aceh Jaya sudah lama dikenal dengan aktivitas tambang emas rakyatnya. Proses pengolahan sederhana dengan merkuri menjadi pilihan karena murah dan cepat. Namun, praktik itu berlangsung tanpa kendali. Pengawasan nyaris tak ada, sementara teknologi ramah lingkungan belum tersentuh. 

“Praktik ini sudah berlangsung lama dan menjadi penyumbang utama pencemaran,” tulis laporan penelitian.

Temuan tim UTU ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan pemangku kebijakan. Pencemaran merkuri tak hanya mengancam kesehatan, tetapi juga merusak keberlanjutan sektor lain meliputi; perikanan, pertanian, hingga penyediaan air bersih.

Para peneliti merekomendasikan penegakan regulasi yang lebih ketat, edukasi bagi penambang, serta penerapan teknologi pengolahan emas yang lebih aman. Kolaborasi lintas sektor, mulai dari pemerintah, akademisi, hingga masyarakat, mutlak diperlukan.

Sungai Krueng Sabee masih mengalir. Namun bila dibiarkan, racun merkuri bisa menjadi warisan berbahaya bagi generasi mendatang.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid