kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Penyandang Disabilitas Minta Penyelenggara Pemilu Sediakan TPS Aksesibel

Penyandang Disabilitas Minta Penyelenggara Pemilu Sediakan TPS Aksesibel

Minggu, 16 Oktober 2022 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Ketua Children and Youth Disability for Change (CYDC) sekaligus Aktivis Disabilitas Aceh, Erlina Marlinda. Foto: dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Mengenai hak politik penyandang disabilitas, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka masih mengalami kesulitan dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Sebenarnya hak politik penyandang disabilitas telah dijamin oleh undang-undang. 

Dalam Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas telah mengatur tentang hak politik untuk penyandang disabilitas, dimana salah satunya adalah memberikan hak dan kesempatan yang sama untuk dapat ikut berpartisipasi politik dalam pemilu.

Partisipasi politik penyandang disabilitas tidak boleh hanya terbatas pada saat pemberian suara saja, tetapi para penyandang disabilitas juga dapat berperan serta aktif dalam kegiatan politik lainnya.

Pada saat pelaksanaan pemilu, salah satu keterbatasan penyandang disabilitas adalah keterbatasan dalam mengakses pelayanan di ruang publik khususnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Fakta tersebut disampaikan oleh Ketua Children and Youth Disability for Change (CYDC) sekaligus Aktivis Disabilitas Aceh, Erlina Marlinda saat diwawancarai Dialeksis.com, Minggu (16/10/2022). 

"Secara akses sudah baik diberikan, hanya saja penyelenggara pemilu khususnya di level desa itu masih kurang aware terhadap kebutuhan teman disabilitas," ungkapnya. 

Untuk itu, kata dia, perlu didorong untuk diberikan pemahaman kepada petugas TPS di level desa dalam memberikan layanan yang dibutuhkan kaum difabel.

Erlina menjelaskan, selama dirinya ikut melakukan pemantauan di Pemilu 2014 dan 2019, hasil temuan di 2014 diharapkan menjadi perbaikan di 2019 tapi justru di 2019 semakin buruk akses untuk disabilitas. 

"Yang awalnya aksesibilitas sudah baik paling perlu ditingkatkan sedikit mana yang kurang. Di 2019 itu semakin parah bahkan untuk lokasi saja tidak mendukung sama sekali apalagi bagi pengguna kursi roda atau Kruk (tongkat ketiak)," jelasnya lagi. 

Ia menambahkan, dalam hal ini pihaknya melihat bukan salah sasaran tim KIP atau Bawaslu tetapi yang perlu didorong itu justru pemahaman ke pihak desa.  

"Kami tidak menutup kemungkinan anggota organisasi disabilitas diajak bekerjasama untuk ini, misalnya KIP sosialisasi di Kecamatan apa, kita siap membantu seperti apa aksesibel yang perlu disediakan," terangnya. 

Tujuannya, lanjut Erlina, karena ia yakin ketika kebutuhan kaum difabel tidak dipenuhi bukan karena kesengajaan pihak desa tidak memberikan, tetapi karena ketidaktahuan sehingga itu terjadi.  

Erlina menceritakan, pada Pemilu tahun 2014 lalu, pihak penyelenggara melaksanakan sistem jemput bola bagi lansia dan disabilitas yang tidak mungkin bisa mencapai ke TPS sehingga panitia datang ke rumah. Tetapi di 2019, itu tidak terjadi lagi sehingga banyak kertas suara kosong.  

Di sisi lain, kata Erlina, keterlibatan disabilitas memang masih sedikit karena disabilitas yang aktif hanya di Kota Banda Aceh, namun di kabupaten kota lainnya paling hanya 1 orang disabilitas yang aktif. Tetapi kalau yang aktif lebih banyak, maka isu disabilitas akan muncul dan teratasi atau terdengar sehingga pemerintah kabupaten kota mulai berpikir.  

Ia berharap, kepada pengambil kebijakan mulai melibatkan juga organisasi disabilitas dalam melakukan kampanye terkait pemilu aksesibel karena bicara aksesibel bukan hanya untuk disabilitas tapi juga non-difabel membutuhkan itu. 

Selain itu, ia berharap di setiap TPS di desa-desa minimal harus ada TPS aksesibel 1 unit sehingga kalau ada difabel langsung diarahkan ke TPS aksesibel. (NOR)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda