Kamis, 11 September 2025
Beranda / Berita / Aceh / Perceraian di Aceh Tinggi Karena Krisis Pemahaman Pernikahan, Anak Jadi Korban

Perceraian di Aceh Tinggi Karena Krisis Pemahaman Pernikahan, Anak Jadi Korban

Rabu, 10 September 2025 23:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Teuku Nurfaizil, mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Program Studi Hukum Keluarga. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Angka perceraian di Aceh kembali menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sepanjang semester I tahun 2025, tercatat 2.923 pasangan suami istri mengajukan gugatan cerai ke Mahkamah Syar’iyah. Jumlah ini hampir setengah dari total perceraian tahun 2024 yang mencapai 6.103 kasus, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Tingginya angka perceraian tersebut tidak hanya menjadi persoalan pasangan suami istri, tetapi juga berdampak besar pada tumbuh kembang anak-anak. Belasan ribu anak di Aceh diperkirakan menjadi korban penelantaran akibat perceraian orang tuanya.

Teuku Nurfaizil, mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Program Studi Hukum Keluarga mengatakan bahwa pernikahan seharusnya dipahami sebagai ikatan jangka panjang yang membutuhkan kedewasaan, bukan sekadar jalan halal untuk menyalurkan syahwat atau menghindari perzinaan.

“Pernikahan harus didahului oleh pemahaman yang mendalam. Sayangnya, sebagian masyarakat masih melihat menikah sebatas pemenuhan syahwat melalui jalur halal. Padahal, ini adalah perjalanan seumur hidup yang penuh tanggung jawab,” ujar Nurfaizil kepada media dialeksis.com, Rabu, 10 September 2025.

Menurutnya, sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, generasi muda perlu dibekali pemahaman sejak dini tentang parenting dan pengelolaan emosi. 

Anak, kata dia, biasanya menyerap emosi orang tua. Jika orang tua tidak bisa mengelola emosinya dengan baik, trauma bisa terbawa hingga dewasa.

Nurfaizil mengingatkan bahwa perceraian sering meninggalkan luka mendalam bagi anak-anak. Rasa kehilangan, kesedihan, bahkan kemarahan kerap muncul ketika keluarga mereka terpecah. 

Tidak jarang, anak yang orang tuanya bercerai menjadi minder, sulit percaya pada orang lain, hingga terganggu konsentrasinya di sekolah.

“Banyak anak yang jadi kurang fokus belajar, nilainya menurun, bahkan malas sekolah. Dari sisi ekonomi, perceraian juga bisa menyebabkan anak berhenti sekolah atau tidak mampu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi,” jelasnya.

Fenomena fatherless atau hilangnya peran ayah juga menjadi perhatian serius. Menurut Nurfaizil, masyarakat masih banyak yang memahami sosok ayah hanya sebatas pencari nafkah.

 Setelah bekerja, ayah pulang dalam kondisi lelah, tanpa ada interaksi dengan anak. Akibatnya, peran ayah sebagai figur emosional dan pendidik di rumah hilang sama sekali.

“Anak-anak kehilangan sosok ayah, bukan karena bercerai saja, tapi karena sejak awal ayah tidak pernah hadir dalam keseharian mereka,” ungkapnya.

Dari sudut pandang agama, Nurfaizil mengingatkan bahwa perceraian atau talak adalah perkara yang dibolehkan, tetapi paling dibenci Allah. Talak seharusnya menjadi pilihan terakhir ketika semua upaya penyelesaian masalah sudah buntu.

“Sekarang ini mudah menikah, mudah juga bercerai. Padahal kalau kita paham agama, talak itu tidak boleh dilakukan sembarangan,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
bpka - maulid
bpka