Minggu, 28 September 2025
Beranda / Berita / Aceh / PERHAPI: Biaya Pemulihan Lahan Bekas Tambang Ilegal di Aceh Bisa Capai Rp150 Miliar

PERHAPI: Biaya Pemulihan Lahan Bekas Tambang Ilegal di Aceh Bisa Capai Rp150 Miliar

Sabtu, 27 September 2025 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Muhammad Hardi, ST, MT, Sekretaris Jenderal PERHAPI Aceh. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Aceh menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Pemerintah Aceh dalam menutup seluruh aktivitas tambang ilegal di wilayah provinsi ini. 

Instruksi Gubernur Aceh dan pernyataan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh dianggap sebagai langkah strategis yang bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga menyangkut keadilan lingkungan dan keselamatan masyarakat.

Pernyataan ini disampaikan oleh Muhammad Hardi, ST, MT, Sekretaris Jenderal PERHAPI Aceh, saat dimintai tanggapan media Dialeksis.com, Sabtu, 27 September 2025, menyusul hasil temuan Panitia Khusus (Pansus) DPR Aceh yang menyebut adanya lebih dari 1.000 titik tambang ilegal tersebar di sejumlah kabupaten. Aktivitas tersebut diperkirakan melibatkan aliran dana ilegal hingga ratusan miliar rupiah per tahun.

“Tambang ilegal telah meninggalkan lubang-lubang terbuka, merusak hutan dan daerah aliran sungai, mencemari air, serta mengancam keselamatan masyarakat sekitar. Jika tidak segera ditangani, kerusakan ekologis yang ditimbulkan akan menurunkan kualitas hidup masyarakat Aceh dalam jangka panjang,” tegas Hardi.

PERHAPI Aceh mengatakan bahwa dampak lingkungan yang ditimbulkan tambang ilegal sangat serius dan nyata. Tambang ilegal menyebabkan hilangnya vegetasi di sekitar daerah aliran sungai (DAS), terutama di wilayah Pidie, Nagan Raya, dan Aceh Barat. 

Kondisi ini meningkatkan risiko longsor serta banjir bandang. Dampak lanjutan berupa sedimentasi sungai telah menurunkan debit aliran air hingga 30-40 persen di sejumlah kawasan.

“Biaya reklamasi lahan bisa mencapai Rp 40-60 juta per hektar. Jika kerusakan lahan kritis akibat tambang ilegal di Aceh mencapai lebih dari 2.000 hektare, kebutuhan pemulihan bisa mencapai Rp 100-150 miliar. Dan biaya ini jelas tidak bisa ditagih ke para pelaku ilegal,” ungkap Hardi.

Aktivitas penambangan emas tanpa izin kerap menggunakan merkuri dan bahan kimia lain yang mencemari tanah dan air.

“Studi nasional pada 2024 mencatat lebih dari 1.000 ton merkuri digunakan tiap tahun oleh tambang emas ilegal di Indonesia. Sebagian besar juga beredar dan dipakai di Aceh,” tambahnya.

Ribuan titik tambang ilegal meninggalkan lubang-lubang berdiameter 2-5 meter dengan kedalaman 3-10 meter. Kondisi ini menjadikan lahan tidak produktif dan berbahaya. Tanpa reklamasi, tanah kehilangan kesuburan sehingga tidak dapat lagi dimanfaatkan untuk pertanian maupun kehutanan.

Selain itu, Kata Hardi, negara kehilangan potensi penerimaan royalti dan pajak hingga ratusan miliar rupiah per tahun. Selain itu, muncul konflik lahan, penurunan kualitas kesehatan akibat air tercemar, serta ketidakadilan ekonomi karena hasil tambang tidak memberi manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.

Ia juga mengatakan bahwa praktik tambang ilegal seringkali diperkuat jaringan patroli sehingga menghambat penegakan hukum. Temuan Pansus DPR Aceh yang mengungkap adanya aliran dana ilegal mempertegas masalah ini.

PERHAPI Aceh menilai, penutupan tambang ilegal harus dilakukan secara tuntas dan konsisten, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah daerah, aparat penegak hukum, praktisi, akademisi, LSM, hingga masyarakat lokal.

“Penutupan tambang ilegal harus dibarengi dengan program pemulihan lingkungan yang nyata serta penguatan ekonomi masyarakat sekitar. Tanpa itu, upaya penertiban hanya akan jadi formalitas. PERHAPI Aceh siap mendukung pemerintah melalui kontribusi teknis, mulai dari pemetaan akurat wilayah terdampak, analisis dampak lingkungan, hingga penyusunan program reklamasi dan pemulihan,” kata Hardi.

Ia menambahkan, penegakan hukum harus berjalan paralel dengan kebijakan keberlanjutan ekonomi, sehingga masyarakat yang sebelumnya terlibat dalam tambang ilegal tidak kehilangan mata pencaharian.

“Kami ingin sumber daya alam Aceh dikelola secara adil, berkelanjutan, dan benar-benar bermanfaat bagi generasi mendatang. Ini bukan hanya soal tambang, tapi soal masa depan Aceh,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid