kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Perihal Penanganan Stunting, Sekda Aceh Diminta Jangan cari Panggung

Perihal Penanganan Stunting, Sekda Aceh Diminta Jangan cari Panggung

Kamis, 01 September 2022 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Ketua Komisi V DPR Aceh, M Rizal Falevi Kirani. [Foto: ist]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Komisi V DPR Aceh, M Rizal Falevi Kirani mengatakan, Provinsi Aceh bekerja untuk penanganan stunting bukan baru di 2022 ini tetapi sudah dimulai sejak 2018 dengan lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub) No. 14/2018 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Stunting di Aceh dan kemudian membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Stunting Aceh.  

Untuk itu, Rizal Falevi meminta Sekda Aceh jangan over acting (berlebihan) di depan Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki seolah-olah Pemerintah Aceh sebelumnya tidak bekerja.

“Sekda harus memberi informasi yang benar dan utuh pada Pj Gubenur sehingga Gubernur bisa memberi arahan kerja berdasarkan evaluasi terhadap aktifitas sebelumnya,” tegas Rizal Falevi dalam siaran pers sebagaimana diterima redaksi Dialeksis.com, Kamis (1/9/2022).

Rizal Falevi menjelaskan, berdasarkan Pedoman yang ada dalam Pergub No. 14/2018 tersebut, maka dibentuk Rumoh Gizi Gampong (RGG) telah menjadi metode penanganan dan pencegahan stunting di Aceh.

Karenanya, tegas dia, bukan dibuat yang baru seperti GISA yang hanya akan membuat bingung masyarakat dan memulai sesuatu program yang baru di masyarakat gampong dan pihak SKPA sendiri.

“GISA yang didengungkan Sekda Aceh itu kita lihat tidak menyentuh substansi stunting karena kerjanya sporadis dan insidental. Stunting itu adalah kejadian yang muncul dari proses yang panjang dan dibutuhkan waktu yang 3-6 bulan untuk bisa menanganinya,” ungkapnya.

Jadi pemberian, tablet vitamin, PMT dan bantuan periodik bukanlah cara dalam penanganan stunting melainkan dengan cara memberikan makanan yang seimbang gizi dan protein untuk 3 kali makan setiap hari selama 3-6 bulan lamanya dan dalam hal inilah Presiden (BKKbN) membuat program Bapak Asuh Anak Stunting yang terdiri pada 3 kegiatan utama yaitu pengumpulan donasi, pelibatan pihak ketiga dan pengelolaan dana. Jadi BAAS ini bukan mewajibkan SKPA bertanggung jawab perwilayah kabupaten seperti yang dilakukan Sekda.

GISA yang mengharuskan hampir semua SKPA turun ke lapangan, hanyalah kegiatan menghamburkan SPPD (APBA) dan bahkan SKPA yang tidak berhubungan langsung dalam penurunan stunting ikut turun.

Apalagi, kata dia, dipastikan tidak semua SKPA memahami dengan baik persoalan stunting dan metode penanganannya. Itulah sebabnya kita meminta Pak Gubernur segera menghentikan aktifitas tersebut.

Stunting tersebut membutuhkan konvergensi program dari semua stakeholder yang mampu memastikan warga stunting mendapatkan asupan gizi dengan kalori yang cukup serta dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah.

Program RGG adalah mekanisme program pencegahan dan penanganan stunting yang memastikan masyarakat gampong sebagai subjek dan dibantu langsung oleh pihak Puskesmas yang didukung oleh pemerintah kabupaten/kota dan mendapat asistensi dan kordinasi dari pemerintah Aceh dalam hal ini SKPA.

RGG itu program yang memastikan warga stunting mendapat bantuan makan dengan gizi dan protein yang cukup untuk 3 kali sehari selama 3-6 bulan. RGG juga dapat mengajarkan kepada masyarakat bagaimana mencegah dan menangani stunting dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar lingkungan masyarakat.

Pengolahan makanan bergizi dari sumber pangan yang ada disekitar rumah, ketahanan pangan mandiri dari pekarangan rumah. Bukan hanya sumber gizi dari suplemen makanan.

“Leading Sector harus bisa memetakan penderita stunting per gampong by name by address sehingga penanganannya betul tepat sasaran bukan hanya slogan slogan dan stempel sticker di mobil dan lain sebagainya,” pungkasnya.[]


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda