kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Peringati HAKORDIA 2021, Panwaslih Aceh Gelar Webinar Penegakan Hukum Pemilu

Peringati HAKORDIA 2021, Panwaslih Aceh Gelar Webinar Penegakan Hukum Pemilu

Jum`at, 10 Desember 2021 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) 2021, Panwaslih Provinsi Aceh melaksanakan kegiatan Webinar Penegakan Hukum Pemilu “Mewujudkan Pemilu Demokratis, Berintegritas dan Bermartabat”. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) 2021, Panwaslih Provinsi Aceh melaksanakan kegiatan Webinar Penegakan Hukum Pemilu “Mewujudkan Pemilu Demokratis, Berintegritas dan Bermartabat” pada hari Kamis (9/12/2021) melalui meeting zoom.

Berdasarkan rilis yang diterima Dialeksis.com, Jumat (10/12/2021), Kegiatan tersebut dihadiri oleh narasumber yang berkompeten diantaranya yaitu Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Dr. Muhammad S.IP., M.SI., Akademisi Universitas Islam Ar-Raniry Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA., dan Reza Syawawi (Manager Democratic and Partisipatory Governance Transparency International Indonesia).

Kegiatan webinar tersebut dibuka oleh Ketua Panwaslih Provinsi Aceh Faizah, dalam sambutannya menyampaikan penyelenggaraan Pemilu yang curang akan menjadi cikal bakal pemimpin yang korup “pada hari ini, setiap tanggal 9 Desember selalu diperingati dengan Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) dimana tahun ini diangkat dengan tema satu padu bangun budaya antikorupsi, korupsi merupakan salah satu tindakan yang tidak terpuji, yang mana pada tahapan pemilu dan Pemilihan pelanggaran money politic masih marak terjadi sehingga menjadi cikal bakal terjadinya korupsi apabila peserta Pemilu itu terpilih”.

Fahrul Rizha Yusuf, M.H., Sebagai pemantik diskusi menyampaikan penyelenggraan pemilu yang baik tentu harus diatur dengan regulasi yang baik pula “Kontestasi pemilu di Indonesia dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, penyelenggaran pemillu harus ditopang dengan regulasi yang di dalamnya mengatu penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu dan pemilih, seluruh komponen diatur agar ruh demokrasi menajdi beretika sehingga proses peralihan kepemimpinan dapat diterima oleh semua pihak,” Papar Kodiv. Penanganan Pelanggaran Panwaslih Provinsi Aceh.

Fahrul menambahkan, dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu dengan banyaknya pelanggaran akan memberi dampak sosial “ada perubahan perilaku actor politik dari actor ideologis menjadi sangat prakmatis yang hanya mengejar kekuasaan sehingga banyak terjadi politik transaksional, ini berkorelasi dengan prakmatisme masyarakat sehingga lambat laun beradaptasi pada kondisi politik yang tidak sehat sehingga merusak modal tatanan sosial di masyarakat,” Ungkap Anggota Panwaslih Provinsi Aceh tersebut.

Ia juga berharap Pemilu dapat merubah peradaban menuju Indonesia yang lebih maju, melalui konteastasi yang ideal melahirkan pemimpin yang lebih baik sehingga Indonesia bebas dari korupsi.

Prof. Dr. Muhammad, S.IP., M.SI menyampaikan beberapa penyebab orang melakukan tindakan korupsi “penyebab orang melakukan korupsi yang pertama karena kebutuhan atau gaya hidup, kedua karena tekananan dan pesanan, yang ketiga karena pengaruh orang sekitar terutama dilingkungan keluarga”.

Prof. Muhammad bercerita bahwa ia pernah medengar cerita unik dalam penyelenggaraan Pemilu “saya pernah mendengar ada caleg yang berkapanye seperti ini, biarlah dia menang di TSP tetapi nanti kita lihat siapa yang dilantik, bagaiman bisa ada orang yang dilantik tetapi dia bukan pilihan rakyat, kalau seperti itu artinya sudah merencanakan untuk melakukan kecurangan,” ungkap mantan Ketua Bawaslu itu

Ketua DKPP itu menambahkan meskipun sudah ada Pengawas Pemilu dan DKPP pelanggaran pemilu masih kerap terjadi “Kita Negara demokrasi tetapi tidak semua Pemilu itu demokratis, apabila penyelenggaraan pemilu sudah demokratis makan tidak perlua lagi ada lembaga pengawas pemilu dan DKPP, tetapi sudah Bawaslu dan DKPP masih saja ada makhluk tuhan yang berani melakukan kecurangan”.

Prof. Dr. syahrizal Abbas, MA. Mengungkapkan bahwa memilih pemimpin melalui sistem Pemilu tidaklah bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah “menciptakan instrument demokrasi dalam menentukan pemimpin Negara Al-Qur’an dan Sunnah tidak memberikan norma yang spesifik, oleh karenanya Al-Qur’an dan Sunnah memberi keleluasaan kepada masyarakat untuk mendesain metode yang tepat dalam memilih pemimpin karena itu sifatnya ijtihadiah, muamalah atau siasah bukan dalam konteks Ibadah mahdhah, menuntukan istrumen untuk memilih pemimpin melalui pemilihan umum tidak bertentangan dengan ajaran agama”.

Guru Besar Universitas Islan Negeri Ar-Raniry itu juga mnembahkan “Jika perserta pemilu bertujuan hanya untuk mengejar kekuasaan dan mendapatkan sanjungan statifikasi sosial itu keliru dari prinsip syariah, tujuan yang benar adalah untuk mengemban amanah khalifah, mewujudkan kemaslahatan, kedamaian, keadilan dan kemakmuran”.

Manager Democratic and Partisipatory Governance Transparency International Indonesia, Reza Syawawi mengungkapkan sistem politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh materi “dalam banyak penelitian terungkap bahwa sistem politik kiita terlalu mengandalkan uang, jadi orang memberikan dukungan terhadap calon terntentu disandarkan pada sejauh mana peserta pemilu itu bisa memberikan imbalan materi”

Reza juga menambahkan peran lembaga politik dangat mennetukan demokrasi Indonesia “salah satu penyebabnya adalah melemahnya lembaga politik. Parlemen, pemerintah dan kepala daerah itu mengalami distorsi dalam melaksanakan funsi-fungsinya. Kualitas demokrasi sangat ditentukan bagaimana kualitas partai politik, seandainya yang dicalonkan pada proses Pemilu adalah orang-orang yang memiliki integritas dan kapasitas yang baik tuntu akan menhasilkan orang-orang yang memperjuangkan hak publik dan akan menjalankan fungsi-fungsinya sebagai wakil rakyat”.

Zulfikar Muhammad yang merupakan salah satu peserta dalam diskusi tersebut mengungkapkan modus money politic yang pernah terjadi di Aceh “proses penyelenggaraan Pemilu di Aceh terdapat dua trend pelanggaran, pada Pemilu 2006 dan 2009 trend di Aceh adalah kekerasan, sedangkan trend 2017 dan 2019 itu banyak terjadi pelanggaran money politic, beberapa modus money politic yang terjadi dengan menjadikan masyarakat sebagai tim pemenangan di setiap desa sesuai dengan target suara sehingga itu tidak dapat dijadikan pelanggaran karena uang yang diberikan tersebut merupakan biaya (honor) tim sukses, pendidikan politik bagi masyarakat sangat penting untuk mengungkapkan kasus money politic”.

Peserta diskusi webinar ini dihadiri oleh 232 orang dari berbagai unsur diantaranya Pengawas Pemilu, Alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipatif, Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi dan praktisi hukum kepemiluan. []

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda