kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Pernikahan Anak di Usia Muda, Jangan Dilumrahkan

Pernikahan Anak di Usia Muda, Jangan Dilumrahkan

Senin, 14 Oktober 2024 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Teuku Nurfaizil, Alumni UIN Sultan Syarif Kasim Riau dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Program Studi Hukum Keluarga. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Masyarakat media sosial baru-baru ini dihebohkan oleh pernikahan seorang influencer muda agamis, Nasron Azizan, atau lebih dikenal sebagai Gus Zizan, dengan Kamila As Syifa yang masih berusia 17 tahun. 

Pernikahan yang berlangsung pada 4 Oktober tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan publik karena usia pasangan yang dianggap terlalu muda, terutama Kamila. 

Perdebatan mengenai pernikahan di usia dini ini pun semakin ramai, dengan sebagian publik mendukung dan sebagian lainnya mengecam pernikahan tersebut.

Pihak yang pro berpendapat bahwa pernikahan dini adalah langkah positif untuk mencegah perzinahan, bahkan membandingkannya dengan pahlawan nasional seperti Cut Nyak Dien yang menikah pada usia 14 tahun atau Ummahatul Mukminin, Siti Aisyah, yang menikah dengan Nabi Muhammad SAW di usia muda. 

Sebaliknya, pihak yang kontra berargumen bahwa pernikahan di usia muda rentan terhadap berbagai masalah, termasuk ketidakmatangan emosional dan finansial yang dapat memicu perceraian.

Menanggapi fenomena ini, Teuku Nurfaizil, Alumni UIN Sultan Syarif Kasim Riau dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Program Studi Hukum Keluarga, menekankan bahwa pernikahan anak tidak boleh dilumrahkan, meskipun dalam beberapa kasus dianggap sebagai solusi terhadap masalah sosial. 

Menurutnya, penting bagi masyarakat untuk memahami lebih dalam mengenai batasan usia pernikahan baik dalam agama Islam maupun dalam peraturan hukum di Indonesia.

Dalam perspektif Islam, batas usia pernikahan memang tidak disebutkan secara spesifik dalam Al-Quran maupun Hadis, namun terdapat petunjuk mengenai kesiapan fisik dan psikologis seseorang sebelum melangsungkan pernikahan. 

Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan para pemuda yang sudah "mampu" (dalam berbagai aspek) untuk menikah, sementara yang belum mampu dianjurkan untuk berpuasa guna menahan nafsu.

"Ba'ah dalam hadis tersebut tidak hanya merujuk pada kemampuan finansial dan biologis, tetapi juga mencakup kematangan psikologis dan emosional. Seorang individu harus siap dalam hal ekonomi, mampu mengelola emosi, dan mengatasi berbagai dinamika yang muncul dalam kehidupan rumah tangga," ujar Nurfaizil kepada Dialeksis.com, Senin, 14 Oktober 2024.

Ia juga menekankan bahwa di era modern ini, tantangan mental dan pengaruh media sosial menjadi faktor yang sangat signifikan dalam menentukan kesiapan seseorang untuk menikah.

Di Indonesia, batas minimal usia pernikahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Pasal 7 undang-undang tersebut menetapkan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. 

Namun, terdapat pengecualian di mana orang tua dapat mengajukan dispensasi kawin ke pengadilan agama jika terdapat alasan mendesak yang disertai bukti-bukti kuat.

Menurut Teuku Nurfaizil, undang-undang ini dibuat untuk melindungi anak-anak dari risiko pernikahan dini yang seringkali berakhir dengan perceraian.

"Anak-anak yang menikah pada usia muda belum memiliki kedewasaan emosional dan kesiapan finansial untuk membangun keluarga yang kokoh. Selain itu, risiko kesehatan bagi perempuan yang hamil di usia muda juga cukup tinggi," jelasnya.

Teuku Nurfaizil juga mengingatkan bahwa membandingkan pernikahan anak di zaman dahulu dengan era modern saat ini adalah hal yang kurang tepat.

"Pada zaman Rasulullah, pernikahan di usia muda seringkali dilakukan untuk melindungi wanita dari perbudakan dan untuk mengangkat martabatnya. Begitu juga dengan masa Cut Nyak Dien, di mana kondisi perang dan penjajahan menuntut perlindungan lebih bagi perempuan," ungkapnya.

Namun, kondisi zaman sekarang sangat berbeda. Kesetaraan gender telah tercapai di berbagai aspek kehidupan, dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pendidikan, pekerjaan, dan perlindungan hukum. 

Dengan demikian, argumen yang mendukung pernikahan dini untuk mencegah zina atau demi melindungi perempuan tidak relevan dengan situasi saat ini.

"Pernikahan bukan hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga sebuah tanggung jawab besar yang membutuhkan persiapan matang, baik secara fisik, mental, maupun finansial. Oleh karena itu, pernikahan anak pada zaman sekarang sebaiknya tidak dilumrahkan," tegasnya.

Menurut Nurfaizil, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum seseorang memutuskan untuk menikah, terutama di usia muda. 

Pertama, niat menikah harus dilandasi oleh tujuan ibadah kepada Allah, bukan hanya untuk menghindari zina atau karena tekanan sosial. Kedua, pentingnya pengetahuan mengenai hak dan kewajiban dalam rumah tangga, baik dari sisi suami maupun istri.

Dengan demikian, masyarakat diharapkan lebih bijaksana dalam melihat isu pernikahan dini, dan tidak terjebak dalam glorifikasi yang tidak tepat di media sosial.

Selain itu, kesiapan fisik, finansial, dan mental sangatlah krusial. "Menikah adalah ibadah yang panjang, dan mereka yang melakukannya harus siap mengarungi samudra rumah tangga yang luas. Jangan sampai pernikahan hanya menjadi beban yang sulit dihadapi karena ketidaksiapan dalam berbagai aspek," tutup Nurfaizil. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda