Sabtu, 23 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / Perokok Remaja Masih Tinggi, The Aceh Institute Harap Banda Aceh Konsisten Jalankan KTR

Perokok Remaja Masih Tinggi, The Aceh Institute Harap Banda Aceh Konsisten Jalankan KTR

Sabtu, 23 Agustus 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Direktur Eksekutif The Aceh Institute, Muazzinah, B.Sc., MPA. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Eksekutif The Aceh Institute, Muazzinah, B.Sc., MPA, memberikan apresiasi terhadap langkah Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh yang terus menjalin kemitraan strategis dengan berbagai pihak dalam rangka membangun sumber daya manusia (SDM) unggul. 

Salah satu di antaranya adalah kerja sama dengan Sampoerna Foundation yang digagas untuk mendukung investasi jangka panjang di bidang pendidikan.

Menurut Muazzinah, kolaborasi semacam ini sangat dibutuhkan mengingat tantangan pembangunan daerah kian kompleks, sementara alokasi anggaran pemerintah pusat semakin ketat. 

“Pemerintah daerah memang dituntut lebih gercep untuk mencari alternatif pembiayaan pembangunan. Tidak mungkin hanya bergantung pada dana transfer pusat. Kerja sama dengan berbagai mitra adalah sebuah keharusan, apalagi jika menyangkut masa depan pendidikan anak-anak kita,” ujar Muazzinah kepada media dialeksis.com, Banda Aceh, Sabtu (23/8/2025).

Meski demikian, Muazzinah menekankan bahwa pembangunan SDM tidak hanya soal pendidikan formal, tetapi juga mencakup aspek kesehatan masyarakat.

Ia menyoroti data terbaru yang menunjukkan meningkatnya prevalensi perokok di kalangan anak dan remaja Indonesia.

Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019, prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun meningkat dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019). 

Lebih lanjut, Survei Konsumsi Individu (SKI) 2023 menyebutkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), disusul usia 10-14 tahun (18,4%).

“Kondisi Aceh bahkan lebih memprihatinkan. Data terbaru menyebutkan 27,9% remaja di atas usia sepuluh tahun di Aceh sudah merokok. Ini bukan sekadar kebiasaan, tetapi persoalan sosial yang mengakar, baik di kalangan remaja maupun orang tua,” jelasnya.

Dalam konteks kerja sama antara Pemko Banda Aceh dan Sampoerna Foundation, The Aceh Institute memberikan catatan khusus agar setiap bentuk kemitraan tidak bertentangan dengan agenda strategis daerah. 

Kota Banda Aceh telah menetapkan dirinya sebagai Kota Layak Anak serta memiliki regulasi tegas melalui Qanun No.5/2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yang diperkuat dengan Peraturan Wali Kota (Perwal) terkait KTR.

“Komitmen pemerintah kota untuk melindungi generasi muda dari paparan rokok harus tetap dijaga. Oleh karena itu, penting sekali memberikan informasi yang transparan kepada masyarakat terkait latar belakang lembaga mitra pembangunan. Apakah benar-benar murni membantu masyarakat, atau ada embel-embel lain yang justru bisa menjerat pemerintah daerah,” kata Muazzinah.

Ia mengingatkan, beban biaya kesehatan akibat konsumsi rokok akan jauh lebih besar jika tidak dicegah sejak dini. Karena itu, pembangunan manusia di Banda Aceh harus menyeimbangkan antara pengembangan pendidikan dan perlindungan kesehatan.

Meski memberikan catatan kritis, Muazzinah menilai langkah Pemko Banda Aceh tetap patut diapresiasi karena menunjukkan arah kepemimpinan yang kolaboratif.

 “Pemerintah kolaboratif adalah keniscayaan. Dengan jejaring mitra yang tepat, pembangunan bisa lebih cepat, efektif, dan berkelanjutan. Namun prinsip kehati-hatian tetap penting, agar setiap langkah sejalan dengan visi daerah dan tidak membawa konsekuensi negatif di masa depan,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
sekwan - polda
bpka