kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Plus Minus Perubahan Tatakelola Perbankan di Aceh

Plus Minus Perubahan Tatakelola Perbankan di Aceh

Rabu, 05 Agustus 2020 21:15 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aceh sudah memberlakukan bank untuk menerapkan pola syariah. Qanun Nomor 11 Tahun 2018 mengamanatkan agar bank di Aceh menjalankan fungsi syariah.

Namun berkembang isu, para pemodal di Aceh memindahkan dananya ke luar Aceh. Menanggapi isu yang berkembang soal adanya pengalihan uang keluar dari Aceh, Dialeksis.com, meminta tanggapan Zainal Arifin Lubis, kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh.

Menjawab Dialeksis.com, Rabu (05/08/2020), soal pengalihan uang keluar Aceh dan dampaknya dalam sistem perekonomian di Aceh, Zainal menjelaskan, amanat qanun tentang lembaga keuangan syariah adalah produk hukum resmi yang mau tidak mau harus dipatuhi karena ini bagian dari penerapan syariah di Aceh. 

"Apakah qanun ini berdampak negatif terhadap perekonomian Aceh atau positif. Kita harapkan berdampak positif dan dimungkinkan berdampak positif. Namun demikian bisa juga berdampak negatif," katanya.

Menurut Zainal Arifin, dampak positifnya apabila proses konversi dari konvensial ke syariah berjalan lancar. Masyarakat Aceh yang menjadi nasabah bank atau lembaga keuangan lainnya, baik yang memiliki deposit maupun yang mendapatkan kredit, memahami bahwa pengalihan ke prinsip syariah tidak menimbulkan persoalan.

"Disamping itu juga tidak menimbulkan tambahan biaya yang berarti, serta  kualitas pelayanan perbankan syariah minimal kualitasnya sama dengan perbankan konvensional. Dilihat dari aspek makro terkait percepatan kegiatan ekonomi, penerapan qanun ini dapat memberikan dampak positif karena  perbankan syariah didorong untuk lebih banyak menyalurkan pembiayaan ke sektor riil, khususnya UMKM," jelas Zainal.

Dalam qanun disebutkan perbankan syariah harus menyalurkan pembiayaan syariah minimal 40 persen dari total pembiayaan kepada UMKM. Selain itu juga didorong untuk menerapkan prinsip bagi hasil yang menurut ketentuan penerapannya dilakukan secara bertahap yang juga menjadi masa transisi untuk penerapannya secara utuh. Masa transisi tersebut memberikan kelonggaran bagi perbankan untuk dapat menerapkannya dengan baik.

Namun, apabila proses konversi ini tidak berjalan baik, sosialisasinya kurang baik, sehingga publik kurang memahami benefit dari perbankan syariah ini, maka berpotensi orang memindahkan dananya keluar Aceh.

“Apabila hal ini terjadi dalam skala besar, berdampak tidak baik bagi perekonomian Aceh dan dampaknya juga akan dirasakan perbankan itu sendiri yang likuiditasnya akan terganggu. Jika likuiditas bank terganggu, maka kapasitas perbankan di Aceh untuk mendukung pembiayaan langsung ke sektor riil juga akan semakin lemah. Walaupun memungkinkan juga pelaku usaha di Aceh mendapat pembiayaan dari perbankan di luar Aceh, tapi dalam prakteknya tentu tidak semudah jika pembiayaan tersebut dilakukan langsung oleh perbankan di Aceh,” terangnya.

“Yang kita harapkan adalah perbankan itu betul-betul mampu mengelola dana pihak ketiga dan mengelola pembiayaan secara baik, kualitas pelayanan tidak kalah dengan bank konvensional. Membangun komunikasi dengan masyarakat yang terus berlanjut, sampai masyarakat betul-betul yakin, bahwa praktek bank syariah ini tidak kalah dengan bank konvensional,” tambah Zainal Arifin.

Bila semuanya dilakukan dengan baik akan membawa dampak positif kepada masyarakat Aceh, bank syariah akan mendapat tempat di hati rakyat. Semua terpulang kepada pihak pengelola bank syariah, jelasnya. (Baga)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda