Postingan Mahzal Berujung Diperiksa Polisi, Ini Tanggapan GeRAK Aceh
Font: Ukuran: - +
Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani. [Foto: dok. Modus Aceh]
DIALEKSIS.COM | Pidie - Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sigli Mahzal Abdullah diperiksa polisi terkait status di akun facebook-nya yang menyentil orderan masker menggunakan anggaran desa.
“Ada yang lagi orderan masker di dalam anggaran desa, asik nih 730 gampong dalam pengawasan 'awak nyan', Para Keuchik dalam tekanan. Covid 'rezeki' dalam sempit. Negeri durjana,” tulis Mahzal di akun facebook-nya, Sabtu (18/4/2020).
“Saya mendapat surat pemanggilan pada tanggal 21 April 2020, dan esoknya saya penuhi panggilan ke Polres Pidie,” kata Mahzal Abdullah mengutip Sinarpidie.co, Selasa (28/4/2020), buntut dari postingannya tersebut.
Dalam surat bernomor B/140/IV/Res.2.5./2020/Reskrim tertanggal 20 April 2020, permintaan keterangan pada Mahzal Abdullah sebagai saksi sehubungan dengan penyelidikan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian menggunakan media sosial dalam pasal 45A ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengatakan, postingan tersebut harusnya menjadi salah satu pintu masuk untuk informasi awal melakukan pengawasan dugaan penyelewengan yang disebutkan.
"Bukan malah yang kritik diproses dengan UU ITE," jelas Askhalani saat dihubungi Dialeksis.com, Rabu (29/4/2020).
Koordinator GeRAK Aceh itu menjelaskan, dalam kasus ini, postingan Mahzal merupakan sesuatu yang tidak memenuhi unsur melawan hukum. Hal ini dikarenakan postingan tersebut tidak menyebutkan nama desa, kecamatan atau nama orang tertentu di sana.
"Kalaupun kemudian ia menyebutkan kata yang mengarah pada menguntungkan orang tertentu, nah itu kan perlu dimaknai sebagai potensi dugaan yang belum pasti ada. Dia malah mengingatkan, harus ada kehati-hatian hukum terkait bila penggunaan anggaran itu dilakukan. Kan di situ poinnya," ungkap Askhalani.
"Seperti ada pemaksaan hukum dalam kasus ini. Mencari celah agar seseorang bisa disidik nantinya atau dilaporkan. Pasti ujung-ujungnya ini bisa menakut-nakuti teman-teman yang di luar pemerintah untuk mengkritisi kebijakan publik," tambahnya.
Askhalani menilai, dalam kasus ini terkesan seperti alergi betul terhadap kritik, padahal kritik yang dilakukan itu belum terpenuhinya unsur melawan hukum.
"Kalau dicari-cari dengan dalih seperti ini di media massa atau media sosial lainnya, akan sangat banyak pelaku yang diperiksa karena melakukan hal tersebut," ujar Koordinator GeRAK Aceh itu.
"Perlu dimaknai, apa yang dilakukan oleh Mahzal itu adalah bagian dari partisipasi terhadap pencegahan kasus korupsi. Dalam UU tindak pidana korupsi, mereka itu dilindungi," tambahnya.
Askhalani berujar, pihaknya akan ambil bagian dan ikut berkoordinasi dengan LBH dalam konteks melakukan advokasi terhadap perkara ini.
"Dalam kasus ini harusnya yang diperiksa mendapat perlindungan hukum dari pemerintah tentang tindak pidana korupsi. Saudara Mahzal itu harus dibebaskan dari semua tuntutan, karena memang tidak ada unsur pidana dalam kritiknya," jelas Koordinator GeRAK Aceh itu.
Askhalani berharap perkara ini tidak dilanjutkan, karena perkara kecil seperti ini akan menghabiskan energi belaka dari pihak kepolisian.
"Saya berharap pak Kapolda Aceh yang baru ini konsen terhadap tindak pidana kasus-kasus korupsi. Berharap beliau kemudian meminta Polres atau siapapun yang menangani perkara ini untuk menyetop. Jangan cari perkara kecil yang menghabiskan energi penyelidikan," ungkap Askhalani.
"Lebih baik fokus pada pengawasan terkait proses dana penanganan Covid-19, daripada mengurus perkara yang unsur pidananya tidak terpenuhi ini," pungkasnya.