DIALEKSIS.COM| Takengon- Presiden Prabowo menyatakan dia telah menyerahkan tanah pribadinya 20 hektar untuk konservasi di Aceh. Namun bagaimana dengan nasib rakyat yang sudah turun temurun mengolah lahan tersebut sejak nenek moyang mereka?
Pidato Presiden Prabowo di kongres PSI yang menyatakan tentang kecintaannya pada gajah dan telah memberikan 20 hektare lahan konsesi untuk konservasi di Aceh, menimbulkan ironi yang mendalam ketika dihadapkan pada realitas di lapangan.
Sertalia, salah seorang tokoh masyarakat Linge, menanggapi pernyataan Presiden Prabowo dengan perasaan pilu.
“Di satu sisi, upaya konservasi satwa liar tentu patut diapresiasi. Namun, di sisi lain, hak-hak fundamental masyarakat adat dan penduduk lokal yang telah mendiami dan mengelola tanah tersebut secara turun-temurun seolah terabaikan,” sebut Sertalia dalam keteranganya kepada Dialeksis.com, Selasa (22/07/2025).
Menurutnya, masyarakat Kecamatan Linge dan Bintang Kabupaten Aceh Tengah menghadapi dilema serius. Tanah yang secara historis menjadi pemukiman, persawahan, perkebunan, dan areal adat mereka, kini berada dalam wilayah konsesi PT THL, yang disebut-sebut Prabowo sebagai milikinya.
Klaim bahwa pemukiman tersebut sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka menegaskan akar sejarah dan keterikatan masyarakat terhadap tanah mereka.
“Ini bukan sekadar lahan kosong yang bisa dialihfungsikan begitu saja, melainkan warisan turun-temurun yang menjadi sumber penghidupan dan identitas budaya,” sebutnya.
Menurut Sertalia, fakta bahwa puluhan desa yang masuk dalam peta wilayah konsesi ini tidak dapat mengurus dan mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas harta mereka, adalah pelanggaran serius terhadap hak-hak sipil dan ekonomi.
“Ketiadaan SHM membuat masyarakat rentan dan tidak memiliki kepastian hukum atas tanah mereka, padahal ini adalah hak dasar setiap warga negara,” sebutnya.
Dijelaskan, perbandingan antara perlakuan terhadap satwa dan manusia menjadi sangat tajam di sini. Konservasi gajah diberikan lahan, sementara manusia, yang adalah penduduk asli dan telah berjuang untuk mempertahankan tanah mereka selama beberapa generasi, justru diabaikan.
“Tuntutan masyarakat yang terus bergulir namun tidak diindahkan oleh pihak PT THL, serta kebisuan pemerintah Daerah semakin memperparah ketidakadilan ini,” jelasnya.
“ Uyem atau pinus merkusi yang merupakan warisan nenek moyang orang Gayo yang menjadi salah satu faktor lahan, hingga kini terus dipertahankan oleh mereka lahan konsesi yang masuk dalam katagori Hutan Tanaman Industri (HTI),” kata Sertalia.
“Kita sangat yakin bahwa pak Prabowo tidak mengetahui konflik ini terjadi di beberapa kecamatan di Aceh tengah. Pemukiman, sawah, perkebunan dan lahan adat Masyarakat masuk kedalam peta konsesinya,” jelas Sertalia.
Untuk itu, pinta Sertalia, sangat penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah, untuk meninjau kembali kebijakan konsesi lahan, agar sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan agraria dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
“ Konservasi lingkungan harus berjalan seiring dengan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal, bukan dengan mengorbankan mereka. Masyarakat bukanlah satwa yang bisa dipindahkan atau diabaikan hak atas tanahnya,” jelasnya.
“Mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak penuh atas tanah, rumah, sawah, dan kebun mereka, yang telah ada jauh sebelum konsesi diberikan,” sebut Sertalia.
Catatan, warga di Kecamatan Linge dan Bintang, Aceh Tengah, saat ini sedang memperjuangkan tanah dari leluhur mereka untuk mendapatkan pengakuan hak berupa sertifikat.
Tanah yang secara historis dari nenek moyang mereka telah menjadi pemukiman, persawahan, perkebunan, dan areal adat mereka, namun tanah itu kemudian berada dalam wilayah konsesi PT THL.
Tanah yang menjadi lahan sengketa antara THL dan tanah adat ini, disebut Presiden Prabowo sebagai milikinya, yang kemudian sebagianya diserahkan untuk konversi. Masyarakat di sana masih berjuang meminta keadilan atas tanah adat sejak leluhur mereka, agar dikembalikan kepada mereka.