kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Prinsip Dasar Bendera Aceh

Prinsip Dasar Bendera Aceh

Selasa, 21 November 2023 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Muhammad Ridwansyah, M.H


Muhammad Ridwansyah, M.H


DIALEKSIS.COM | Opini - Artikel ini ditulis bagian penghematan naskah disertasi yang sedang saya kerjakan dalam Program Studi Doktoral Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas. Secara filosofis, bagaimana norma hukum status dan kedudukan bendera Aceh dalam konteks prinsip dasar bagian dari cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas prinsip dasar dan hakikat fundamental mengenai keberadaan bendera Aceh dan realitasnya? Prinsip dasar bendera Aceh adalah kajian yang bersifat mengatasi penglihatan inderawi Pemerintah Pusat terhadap Bendera Aceh melalui Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah terlalu individualistik dan tidak berupaya mencari solusi atas status dan kedudukan filosofis dari Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. 

Seharusnya prinsip dasar Bendera Aceh haruslah menjadi penopang qanun a quo secara kritis. Sehingga pandangan Pemerintah Pusat melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 188.34/2723/SJ atas pembatalan bendera Aceh yang sangat keliru dan dapat melahirkan benih-benih konflik baru di Aceh. 

Bagaimana mungkin beschikking (keputusan) yang bersifat individual dan kongkrit bisa membatalkan regeling (pengaturan qanun)? Bukankah prinsip dasar bendera Aceh bagian dari konsesus perdamaian Aceh atas GAM dengan Pemerintah Pusat. 

Rumusan utama dalam kajian prinsip dasar bendera Aceh fokus pada pertanyaan, apa sebenarnya di balik bendera Aceh? kenapa Pemerintah Pusat tidak menyetujuinya? Apakah perlu persetujuan Pemerintah Pusat atas keberadaan wujud bendera Aceh lewat kebijakan hukum terbuka bagi Qanun Aceh? 

Apa sebenarnya di balik bendera Aceh? sebuah bendera dapat dipahami dan dimengerti sepotong kain atau kertas segi empat atau segitiga (diikatkan pada ujung tongkat, tiang, dan sebagainya) dipergunakan sebagai lambang negara, perkumpulan, badan, dan sebagainya. Makna bendera sebagai identitas negara, ada kedaulatan negara dalam simbol bendera. Apakah rumusan itu juga berlaku bagi Aceh dan makna dari bendera Aceh, apakah sesempit itu memahamibendera Aceh? Dalam teori, wilayah yang menerapkan self-government sebenarnya negara induk membolehkan wilayah yang memiliki simbol kewilayahan. 

Hal ini sama dengan Provinsi Quabec di Negara Kanada. Bendera yang digunakan berbeda dengan bendera negara, begitu juga simbol Provinsi Quabec berbeda dengan Negara Kanada. Begitu juga halnya wilayah otonom Sepanyol yakni Catalunya atau Catalonia memiliki bendera dan lambang wilayah yang berbeda dengan bendera dan lambang Negara Sepanyol. 

Jadi, apa sebenarnya di balik bendera Aceh, kenapa ketika pengesahan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang, politik negara menurukan aparat TNI, untuk menghadang masa agar proses pengibaran bendera tidak terjadi. Seseram itu kah bendera Aceh yang harus dilawan dengan alat negara. 

Hematan penulis dalam rumusan ini adalah menjelaskan bahwa bendera Aceh menurut versi Pemeritah Pusat adalah entitas GAM yang digunakan sebagai tujuan bernegara, 30 tahun GAM menuntut kemerdekaan lewat simbol keagungan bendera Aceh sehingga bendera dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tidak disetujui oleh Pemerintah Pusat sampai sekarang. 

Kenapa Pemerintah Pusat tidak menyetujui pengibaran bendera Aceh walaupun secara peraturan perundang-undangan bendera Aceh sudah sah karena berlakunya sebuah norma sudah diundangkan lewat Qanun Aceh. Namun tidak demikan menurut Pemerintah Pusat, Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 yang berlaku wajib tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007. 

Apakah norma peraturan pemerintah a quo ini amanah dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau amanah “gelap” negara untuk mengeyampingkan bendera Aceh yang sudah tumbuh hampir 30 tahun lebih sebagai panji keagungan perjuangan GAM. 

Jika, dilihat norma hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah semestinya tidak relevan untuk mencabut Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013, tidak berdasar, apalagi hanya setakat Keputusan Menteri Dalam Negeri. 

Yang menjadi aneh bin ajaib, DPRA dan Pemerintah Aceh sampai sekarang terkesan diam dan tidak menggubris permasalahan subtansial martabat Aceh ini, bukankah bendera Aceh ini adalah humandignity nya rakyat Aceh. Namun ketika pembahasan Rancangan Qanun APBA 2024, hampir semua fraksi, getol mengodok persoalan tersebut. Harusnya kita pahami bahwa persoalan bendera Aceh adalah persoalan Hareukat Urueng Aceh. 

Perjuangan panjang GAM sudah membawa bendera Aceh pada saat pintu masa perdamaian, apakah boleh DPRA dan Pemerintah Aceh sebegitunya? tidak mau melanjutkan proses pengibaran bendera Aceh hingga seluruh pelosok negeri Aceh. DPRA dan Pemerintah Aceh wajib bersatu dengan bermusyawarah untuk mencari titik temu agar bendera Aceh tidak dijadikan persoalan isu politik yang berkepanjangan. Maka dari itu bendera Aceh wajib berkibar jika akta damai (MoU Helsinki) masih terasa penting, jika tidak maka perjuangan sekarang yang dilanjutkan adalah munafik karena hanya sebatas pokir-pokir semata yang tidak subtansial. 

Terakhir, apakah perlu persetujuan Pemerintah Pusat atas keberadaan wujud bendera Aceh lewat kebijakan hukum terbuka bagi Qanun Aceh? Dalam aspek desentralisasi asimetris ada dikenal enam kewenangan pusat yang tidak boleh diganggu gugat antara lain: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Apakah bendera Aceh dapat menganggu pertahanan keamanan negara? Seharusnya negara memberikan kekuasaan sesuai norma MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Bukankah bendera Aceh sudah menjadi rumusan legal formal dan sudah disahkan oleh tangan negara melalui DPRA dan Pemerintah Aceh. 

Negara harus memahami bahwa bendera Aceh adalah simbol kekhususan dan keistimewaan Aceh, menjadi perekat rakyat Aceh dan sekaligus resolusi konflik Aceh. Qanun Aceh haruslah dianggap sebagai peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang Pemerintahan Aceh. Qanun Aceh harus selesai di Aceh saja, tidak harus lewat pintu Kemendagri karena selama ini, proses pembentukan Qanun Aceh harus dikonsultasikan dan mendapatkan penyempurnaan versi pemerintah pusat. 

Uraian-uraian di atas adalah untuk menegasikan pandangan dan kebijakan Pemerintah Pusat atas Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 sehingga cooling down, bendera Aceh semestinya segera diakhiri. Bendera Aceh bulan bintang adalah bendera kekhususan dan keistimewaan rakyat Aceh, negara harus menghormati kebijakan DPRA dan Pemerintah Aceh. 

Bukahkah ketika damai, Pemerintah Pusat menerima entitas wujud bendera GAM dan duduk sederajat dengan Pemerintah Indonesia saat itu, Pemerintah Pusat harus mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 demi kelanjutan Aceh dengan Jakarta. Aceh dengan kelanjutan damai, semua pihak menginginkan perdamaian abadi sehingga pembangunan berkelanjutan demi kesejahteraan dan ketentraman rakyat Aceh. 

Perjanjian COHA gagal karena ada ketidaksepahaman akar rumput kala itu sehingga negara tetap menurunkan alat negara untuk menstabilkan Aceh. Maka dari itu perjanjian MoU Helsinki harus dipertahankan semua stakeholder sehingga Aceh tetap damai, pembangunan untuk rakyat terus dilanjutkan demi kesejahteraan dan martabat rakyat Aceh.  


Penulis

Muhammad Ridwansyah, M.H

Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Muda Seudang Aceh Sayap Partai Aceh dan anggota Tim Pengkajian dan Pembinaan Pelaksanaan MoU Helsinki pada Lembaga Wali Nanggroe Aceh. 

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda