kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Pro-Kontra Definisi Kekerasan Seksual, Pembahasan RUU TPKS Jadi Momentum Perbaikan

Pro-Kontra Definisi Kekerasan Seksual, Pembahasan RUU TPKS Jadi Momentum Perbaikan

Sabtu, 19 Maret 2022 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Akademisi Universitas Syiah Kuala, Ayu Ningsih. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tahun lalu, masyarakat dari kalangan sipil melakukan aksi besar-besaran untuk menolak Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang dirasa belum sempurna secara definisi.

Namun kabar teranyar ialah pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah Republik Indonesia sepakat akan melakukan pembahasan RUU TPKS itu pekan depan.

Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Ayu Ningsih mengatakan, pembahasan tersebut bisa dijadikan momentum untuk mengubah redaksi dari definisi kekerasan seksual yang dirasa rancu secara pemaknaan.

“Kekerasan seksual didefinisikan dilakukan secara pemaksaan. Tapi kalau suka sama suka itu bukan kekerasan seksual. Ini dilema sebenarnya. Makanya, saya rasa pembahasan itu jadi momentum dari bagaimana meredaksikan ulang dari bagaimana yang dimaksud dengan kekerasan seksual, agar tidak multitafsir,” ujar Ayu, Jumat (18/3/2022) di Banda Aceh.

Menurutnya, pemaknaan definisi kekerasan seksual perlu dijelaskan secara eksplisit. Sehingga, bila pun RUU TPKS ini disahkan, tidak meninggalkan bekas seolah-olah ada kemunduran dalam upaya perlindungan terhadap hak korban kekerasan seksual.

“Kita berharap perumus aturan bisa meredaksikan ulang agar penafsirannya tidak multitafsir, seperti melegalkan perzinahan, dan aktivitas PSK. Karena toh mereka melakukannya secara suka sama suka,” ungkapnya.

Di sisi lain, dirinya mengaku sangat menanti RUU TPKS terbit. Karena selama ini terjadi kekosongan hukum. Apalagi, kata dia, sejauh ini kasus kekerasan seksual selalu dikaitkan dengan pidana-pidana umum.

“Belum lagi dari ketimpangan perspektif aparat penegak hukum. Selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang seolah menyudutkan si korban. Misalnya ditanya, kamu keenakan nggak, kamu menikmatinya tidak? Mana ada korban keenakan, aneh,” tegasnya.

Oleh sebab itu, Ayu yang juga seorang pemerhati anak sangat berharap agar para legawan yang diutus bisa menyampaikan perbaikan pada draft RUU TPKS tersebut. Minimal, kata dia, meredaksikan ulang definisi kekerasan seksual yang benar-benar tepat sehingga tidak menjalar pada tafsir yang bertentangan.

“Yang namanya hukum itu sebenarnya kita menutup celah agar satu Pasal itu bisa ditafsirkan dengan sangat beragam. Begitu juga dengan penafsirannya. Namun, isi pasal tersebut harus tetap komit dari bagaimana melindungi hak-hak korban,” pungkasnya. [AKH]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda