Senin, 14 Juli 2025
Beranda / Berita / Aceh / Raihal Fajri: Penguatan Wali Nanggroe Harus Transparan dan Demokratis

Raihal Fajri: Penguatan Wali Nanggroe Harus Transparan dan Demokratis

Senin, 14 Juli 2025 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Direktur Eksekutif Katahati Institute, Raihal Fajri. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Direktur Eksekutif Katahati Institute, Raihal Fajri, menanggapi pertemuan antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Paduka Yang Mulia (PYM) Wali Nanggroe Aceh, Teungku Malik Mahmud Al Haythar, yang berlangsung di kediaman dinas Mendagri di Jakarta, Sabtu (12/7/2025).

Dalam pertemuan itu, sejumlah isu strategis dibahas, di antaranya penguatan kelembagaan Wali Nanggroe dari sisi struktur, perencanaan, anggaran, hingga evaluasi kinerja. Selain itu, juga dibahas upaya optimalisasi potensi daerah guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta pentingnya tata kelola keuangan daerah yang transparan dan akuntabel.

Menanggapi hal itu, Raihal Fajri menyatakan bahwa penguatan lembaga Wali Nanggroe perlu diletakkan dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang demokratis dan partisipatif. Menurutnya, Wali Nanggroe adalah simbol budaya Aceh yang memiliki nilai historis penting, namun perlu dikuatkan dengan kejelasan fungsi, kewenangan, dan mekanisme pengawasan.

“Kita tentu mendukung penguatan institusi-institusi lokal yang merepresentasikan jati diri Aceh. Namun proses itu harus terbuka, akuntabel, dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil agar tidak menjadi simbol kosong,” ujar Raihal kepada Dialeksis saat dihubungi, Senin (14/7/2025).

Ia menambahkan, pembicaraan mengenai struktur dan anggaran lembaga Wali Nanggroe seharusnya tidak bersifat eksklusif atau elitis, melainkan menjadi bagian dari diskursus publik yang terbuka. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap pembiayaan publik memiliki dampak yang nyata dan terukur terhadap kesejahteraan masyarakat Aceh.

“Transparansi dalam perencanaan dan evaluasi kinerja lembaga seperti Wali Nanggroe sangat penting. Kita tidak boleh terjebak pada pendekatan seremonial belaka,” tegasnya.

Terkait upaya peningkatan PAD Aceh, Raihal mengapresiasi langkah Mendagri dalam mendorong kemudahan investasi dan pembukaan akses pasar global. Namun ia mengingatkan bahwa penguatan ekonomi daerah harus disertai dengan penguatan kelembagaan lokal agar manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh kelompok tertentu.

“Investasi perlu diarahkan untuk memperkuat sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti pertanian, perikanan, dan UMKM. Pemerintah daerah juga harus memperbaiki iklim usaha dan kepastian regulasi,” ucapnya.

Dalam hal tata kelola keuangan daerah, Raihal menilai seruan Mendagri agar pemerintah di Aceh menerapkan transparansi dan akuntabilitas adalah hal yang sangat relevan. Menurutnya, banyak persoalan di tingkat daerah yang bersumber dari lemahnya pengawasan internal dan minimnya partisipasi publik dalam proses anggaran.

“Tanpa reformasi kelembagaan dan penguatan sistem pengawasan, alokasi anggaran bisa menjadi ladang pemborosan atau bahkan penyimpangan,” kata Raihal.

Sebagai penutup, Raihal menyatakan bahwa penguatan lembaga Wali Nanggroe tidak boleh berjalan dalam ruang politik tertutup. Ia menyarankan agar Pemerintah Aceh bersama DPRA, akademisi, tokoh masyarakat, dan civil society membuka forum konsultasi publik yang terarah, sehingga penguatan kelembagaan ini benar-benar menjadi bagian dari upaya memperkuat otonomi khusus Aceh secara substantif.

“Aceh membutuhkan tata kelola kelembagaan yang kokoh, demokratis, dan sesuai dengan semangat MoU Helsinki. Jangan sampai kekhususan yang dimiliki Aceh hanya berakhir pada simbolisme tanpa fungsi,” pungkas Raihal. [ra]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI