kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Ratifikasi Konvensi Internasional Penting untuk Lindungi Korban Penghilangan Paksa

Ratifikasi Konvensi Internasional Penting untuk Lindungi Korban Penghilangan Paksa

Minggu, 01 September 2024 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Foto korban penghilangan orang secara paksa di Indonesia. Dokumen KontraS Aceh untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam peringatan Hari Korban Penghilangan Orang secara Paksa Internasional yang jatuh pada 30 Agustus, Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa, melalui perwakilan Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, kembali mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Orang secara Paksa (ICPPED). 

Ratifikasi ini dianggap penting untuk mengisi kekosongan hukum terkait penanganan dan pencegahan kasus penghilangan paksa di Indonesia, yang hingga kini masih menjadi masalah serius.

Menurut Azharul Husna, fenomena penghilangan paksa bukanlah hal baru di Indonesia. Ia menegaskan bahwa praktik ini terus berlangsung dengan berbagai bentuk dan skala, mulai dari masa Reformasi Dikorupsi 2019, penolakan Omnibus Law 2020, hingga peringatan Darurat 2024. 

"Kasus penghilangan orang secara paksa yang terjadi selama aksi-aksi tersebut merupakan contoh nyata dari praktik penghilangan orang dalam jangka waktu pendek atau short-term enforced disappearances," ujarnya kepada Dialeksis.com, Minggu, 1 September 2024.

Indonesia sebenarnya telah menandatangani ICPPED pada 27 September 2010, namun ratifikasinya masih tertunda. 

Azharul menekankan bahwa pengesahan konvensi ini bukan hanya penting untuk memenuhi kewajiban internasional, tetapi juga untuk melindungi hak asasi manusia warga negara Indonesia. 

"Ratifikasi ICPPED dapat menjadi langkah penting untuk mengintegrasikan penghilangan paksa sebagai tindak pidana dalam hukum pidana kita. Saat ini, tidak ada regulasi yang secara spesifik mengatur mengenai penghilangan paksa, meskipun hak untuk bebas dari penghilangan paksa telah dijamin dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia," tambahnya.

Azharul menilai bahwa lambatnya ratifikasi konvensi ini lebih disebabkan oleh ketidakseriusan DPR RI dalam menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas. 

Ia menyoroti fakta bahwa Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat resmi kepada DPR terkait ratifikasi ICPPED pada April 2022, namun hingga kini tidak ada kemajuan berarti. 

"Padahal, surat tersebut sudah disertai tanda tangan dari empat kementerian terkait, yaitu Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Pertahanan. Tapi, sayangnya, proses ini justru mangkrak di DPR," ujarnya dengan nada kecewa.

Kritik terhadap DPR juga mengarah pada prioritas legislasi yang dianggap lebih menguntungkan oligarki ketimbang rakyat. 

"RUU Ratifikasi ICPPED seharusnya bisa dibahas kapan saja, karena masuk dalam kategori RUU Kumulatif Terbuka. Namun, faktanya, DPR justru lebih sibuk mengejar pengesahan undang-undang yang menyengsarakan rakyat, seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK," tegas Azharul. 

Ia juga menyoroti revisi UU Pilkada yang disahkan dalam waktu singkat, sementara RUU Ratifikasi ICPPED terabaikan begitu saja.

Dalam kesempatan ini, Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa mengeluarkan seruan tegas kepada pemerintah dan DPR. 

Mereka menuntut agar Presiden, Kepolisian Republik Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia segera menghentikan praktik penghilangan paksa dan memastikan tidak ada impunitas bagi pelakunya. 

Selain itu, Koalisi juga mendesak pembentukan Komisi Orang Hilang untuk melakukan pencarian terhadap orang-orang yang hilang dan memberikan pemulihan kepada keluarga korban.

Koalisi ini juga menyoroti pentingnya penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang melibatkan penghilangan paksa oleh Kejaksaan Agung, serta mendesak Presiden untuk segera membentuk Pengadilan HAM ad hoc guna menangani kasus Penghilangan Paksa 1997-1998, sesuai rekomendasi DPR RI.

Azharul Husna menutup pernyataannya dengan harapan besar bahwa ratifikasi ICPPED dapat segera terlaksana, sehingga kasus-kasus penghilangan paksa di Indonesia dapat ditangani dengan lebih adil dan transparan. 

"Kami tidak akan berhenti berjuang hingga keadilan benar-benar ditegakkan bagi para korban dan keluarganya," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda