Ribuan Hektare Perkebunan Sawit di Aceh Tamiang Belum Tersertifikasi ISPO, Ini Pernyataan Tegas Kadistanbun Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Ir. Cut Huzaimah dan Ir. Akhmad Baihaqi, SP, MM Ketua Bidang Sertifikasi PISPI Aceh. Foto: Kolase Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Aceh Tamiang - Sebanyak ribuan hektare lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Tamiang yang dikelola oleh sembilan perusahaan swasta hingga kini belum tersertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Padahal, sertifikasi ini diwajibkan sesuai aturan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 dan Permentan Nomor 38 Tahun 2020.
Data Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun) menyebutkan sembilan perusahaan tersebut adalah PT Desa Jaya, PT Dharma Agung, PT Mestika Prima Lestari Indah (MPLI), PT Semadam, PT Sinar Kaloy Perkasaindo, PT Sisirau, PT Tanjung Raya Bendahara, PT Teungulon Raya, dan PT Perkebunan dan Pertanian Sumber Asih.
Ketentuan hukum yang berlaku menyatakan perusahaan perkebunan yang tidak memiliki sertifikat ISPO akan menghadapi sanksi berupa teguran tertulis, penghentian sementara operasional, hingga pencabutan izin usaha. Selain itu, keberadaan sertifikat ISPO juga menjadi syarat penting untuk memastikan produk sawit dapat bersaing di pasar internasional.
Merespon kondisi tersebut, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Ir. Cut Huzaimah, mengatakan kewajiban sertifikasi ISPO bagi perusahaan sebenarnya sudah diberlakukan sejak 2020, sementara untuk pekebun rakyat ditargetkan mulai diwajibkan pada 2025. Namun, hingga kini progresnya masih jauh dari harapan. Walau demikian ada sekitar 2000an ha sudah tersertifikasi ISPO di Aceh Tamiang dengan bantuan mitra pembangunan dan kami sangat berterima kasih atas hal ini.
“Jika tidak tersertifikasi ISPO, tandan buah segar (TBS) dan crude palm oil (CPO) akan sulit diterima di pasar global. Ini tantangan besar, terutama bagi Aceh yang sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup pada sektor sawit,” ujar Cut, Sabtu, 4 Januari 2025 kepada Dialeksis.com.
Pendapat lain disampaikan Ir. Akhmad Baihaqi, SP, MM Ketua Bidang Sertifikasi Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Aceh, menambahkan dari total 263 ribu hektare kebun sawit rakyat di Aceh, hanya sekitar 2.000 hektare yang telah tersertifikasi ISPO, atau sekitar 0,75 persen. Bahkan, area tersebut seluruhnya berada di Kabupaten Aceh Tamiang. Setahu kami Kabupaten Nagan Raya juga sedang berproses untuk menuju ISPO ada sekitar 200 ha lebih.
“Bayangkan dampaknya, ada sekitar 800 ribu orang yang hidupnya bergantung pada sawit. Jika TBS mereka tidak bisa dijual karena tidak tersertifikasi, ini akan menjadi bencana ekonomi di Aceh,” kata Baihaqi atau disapa akrab Boy.
Proses sertifikasi ISPO tidak semudah yang dibayangkan. Baihaqi menyebut sejumlah kendala seperti kurangnya pemahaman petani tentang pentingnya sertifikasi, tingginya biaya pemenuhan standar, hingga minimnya pendampingan teknis dari pemerintah.
“Infrastruktur pendukung juga belum memadai. Program sertifikasi ini harusnya diintegrasikan dengan pelatihan, bantuan teknologi, hingga subsidi bagi petani kecil agar mereka mampu memenuhi kriteria ISPO,” ujarnya.
Di sisi lain, Cut Huzaimah menegaskan pentingnya sertifikasi ISPO untuk menjaga daya saing produk sawit Indonesia di pasar global. Negara-negara seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat semakin ketat dalam mengimpor produk sawit yang tidak tersertifikasi keberlanjutan.
“Pasar global sekarang hanya menerima produk sawit yang dikelola sesuai prinsip berkelanjutan. Tanpa ISPO, kita tidak hanya kehilangan pasar, tapi juga merusak reputasi sawit Indonesia,” ujarnya.
Untuk mempercepat sertifikasi ISPO, pemerintah daerah diminta lebih proaktif dalam mendampingi pekebun dan perusahaan sawit. Langkah-langkah seperti penyuluhan, pembentukan koperasi petani, hingga subsidi biaya sertifikasi menjadi beberapa solusi yang bisa ditempuh.
“Ini tanggung jawab bersama. Pemerintah pusat, daerah, perusahaan, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan sawit Aceh memenuhi standar keberlanjutan. Jika tidak, ancamannya sangat nyata bagi perekonomian daerah,” kata Baihaqi.
Tantangan besar kata Baihaqi menuntut langkah konkret yang segera dilakukan, mengingat sektor sawit adalah salah satu penggerak utama ekonomi Aceh.
“Keberhasilan sertifikasi ISPO tidak hanya menjadi kepentingan lokal, tapi juga nasional dalam menjaga daya saing sawit Indonesia di panggung global,” ujarnya.
"Kami berkeyakinan bila amanat dari RAD KSB (rencana Aksi Daerah Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan) yang nantinya dilaksanakan atau dikoordinir oleh TPD (Tim Pelaksana Daerah) RAD KSB serta Peta Jalan Sawit melalui PMU (Program Menejemen Unit), bila berkolaborasi akan memperkuat dan mempercepat terwujudnya sertifikasi ISPO di Aceh, pungkasnya.