DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Ikatan Psikolog Muslim Aceh sekaligus Wakil Dekan I Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry, Ust. Prof. Dr. Safrilsyah Syarif, M.Si menyampaikan perilaku menyimpang LGBT bukanlah kodrat atau bawaan sejak lahir, melainkan hasil dari penyimpangan moral, lingkungan, dan pergaulan yang salah.
Hal ini disampaikan dalam ceramah safari subuh bersama Gerakan Pemuda Subuh (GPS) yang dihadiri media dialeksis.com, di Masjid Besar Syuhada Lamgugop, Sabtu (18/10/2025).
“Kaum LGBT ini bukan lahir begitu saja. Ini adalah penyakit kejiwaan yang muncul karena perilaku dan pergaulan menyimpang,” tegas Prof. Safrilsyah.
Menurutnya, peningkatan kasus perilaku menyimpang ini telah mencapai angka yang mengkhawatirkan.
“Sejak 2023 hingga 2024, peningkatan kasus LGBT di Indonesia, termasuk Aceh, mencapai sekitar 300 persen. Ini harus menjadi alarm keras bagi kita semua, terutama bagi para orang tua dan pendidik,” ujar akademisi sekaligus psikolog senior tersebut.
Dalam ceramahnya, Prof. Safrilsyah turut menyinggung fenomena media sosial, terutama TikTok, yang kini banyak menampilkan sosok selebgram atau tiktoker Aceh dengan perilaku kemayu dan melambai-lambai, yang bahkan dianggap menghibur oleh sebagian masyarakat.
“Pertanyaannya, apakah kita sudah kehilangan rasa malu dan batas moral sebagai muslim Aceh? Mengapa perilaku seperti itu dianggap lucu dan biasa? Padahal di balik tawa itu, ada penyimpangan nilai yang pelan-pelan kita normalisasi,” ujarnya.
Ia menilai, ketidaktegasan pemerintah dan tokoh publik terhadap perilaku menyimpang di ruang digital menjadi salah satu faktor yang memperburuk situasi.
“Harus ada ketegasan. Pemerintah, tokoh agama, bahkan lembaga pendidikan tidak boleh diam. Kalau tidak, penyimpangan ini akan dianggap hal biasa, padahal ini masalah besar bagi masa depan generasi,” tambahnya.
Prof. Safrilsyah kemudian mengingatkan jamaah bahwa perilaku kaum LGBT bukanlah fenomena baru, melainkan telah terjadi sejak masa Nabi Luth ‘alaihis salam bersama kaum Sodom.
Ia mengutip firman Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 80“81 dan Asy-Syu’ara ayat 165“166 sebagai peringatan keras terhadap umat yang melakukan penyimpangan fitrah tersebut.
“Kaum Nabi Luth sudah diingatkan, tapi mereka menolak dengan sombong. Maka Allah mengazab dan memusnahkan mereka. Itu bukti bahwa perilaku ini adalah bentuk pelanggaran besar terhadap fitrah manusia,” jelasnya.
Dalam perspektif hukum Islam, Prof. Safrilsyah mengutip pandangan ulama besar seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi yang menetapkan hukuman berat bagi pelaku perbuatan kaum Nabi Luth.
“Bahkan Rasulullah SAW bersabda, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (HR. Ahmad),” ujarnya.
Sebagai psikolog, Prof. Safrilsyah menekankan bahwa perilaku LGBT membawa konsekuensi serius terhadap kesehatan fisik dan mental. Ia mencontohkan tingginya risiko penyakit menular seperti HIV/AIDS dan gangguan fungsi organ akibat perilaku yang bertentangan dengan fitrah tubuh manusia.
“Secara medis, perilaku ini merusak organ tubuh, terutama bagian anal, dan bisa menyebabkan penderitaan fisik seumur hidup. Jadi ini bukan hanya soal moral atau agama, tapi juga ancaman kesehatan,” jelasnya.
Namun, ia juga menegaskan bahwa dalam Islam, pintu taubat selalu terbuka bagi siapa pun yang mau kembali kepada jalan Allah.
“Allah tidak pernah cacat dalam ciptaan-Nya. Setiap manusia diciptakan sempurna sesuai fitrahnya. Yang rusak adalah perilaku dan lingkungannya. Maka siapa pun bisa kembali, asalkan mau bertobat dan memperbaiki diri,” ujarnya.
Lebih jauh, Prof. Safrilsyah menekankan pentingnya peran keluarga sebagai benteng utama dalam mencegah munculnya perilaku menyimpang.
“Proteksi terbaik dimulai dari rumah. Orang tua harus memperhatikan pergaulan dan perilaku anak-anaknya sejak dini. Jangan biarkan media sosial dan lingkungan mengambil alih peran pendidikan moral,” ujarnya.
Ia juga menyerukan kepada pemerintah untuk berani mengambil langkah konkret dalam menegakkan aturan yang jelas terkait larangan perilaku LGBT di Aceh.
“Pemerintah punya peran besar. Harus ada regulasi tegas, sanksi jelas, bahkan jika perlu pengusiran terhadap pelaku penyimpangan agar masyarakat terlindungi dari dampak sosial dan penyakit berbahaya,” tegasnya.
Prof. Safrilsyah mengajak seluruh jamaah untuk tidak berhenti berdakwah dan menjaga nilai-nilai Islam di tengah arus globalisasi dan liberalisasi yang makin kuat.
"Menjaga fitrah bukan hanya tugas ustaz atau ulama, tapi tanggung jawab setiap muslim. Kalau bukan kita yang menjaga Aceh, siapa lagi,” pungkasnya. [nh]