kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / SE Menag Tak berlaku di Aceh, Nasir Djamil: Hormatilah Setiap Perbedaan!

SE Menag Tak berlaku di Aceh, Nasir Djamil: Hormatilah Setiap Perbedaan!

Selasa, 01 Maret 2022 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur

Anggota DPR RI, Muhammad Nasir Djamil. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Surat Edaran (SE) Menteri Agama (Menag) mengenai aturan dalam pengguna pengeras suara (TOA) di Masjid dan Musholla sampai hari ini menjadi sebuah polemik hangat.

 Awal mula polemik dimulai saat Menag menjelaskan mengenai SE tersebut yang Dalam penjelasannya, Menag Yaqut mencoba menjelaskan tujuan penerbitan surat edaran tersebut yang diharapkan dapat menjaga keharmonisan di masyarakat melalui sejumlah perumpamaan.

Hal itu membuat hampir seluruh wilayah di Indonesia mempermasalahkan hal tersebut, tentu dalam hal ini juga ada yang pro dan tidak pro terhadap SE tersebut. 

Anggota DPR RI, Muhammad Nasir Djamil mengatakan, SE tersebut tidak bisa diterapkan di Aceh, apalagi itu merupakan Peraturan Menteri.

“Apalagi peraturan menteri itu bukanlah peraturan perundang-undangan, jadi dengan kekhususan dan keistimewaan Aceh, tentu peraturan Menag itu tidak bisa diterapkan di Aceh, karena itu tidak sejalan dengan semangat dan keIslaman yang sudah lama dipraktekan di Aceh,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Selasa (1/3/2022). 

Kemudian, kata Nasir, peraturan menteri itu bukanlah Hierarki jadi boleh diabaikan. “Jadi memang daerah Khusus seperti aceh tentu harus ada pembedaan. Setingkat UU saja bisa tidak berlaku di Aceh apalagi peraturan menteri,” sebutnya.

Di Aceh sendiri tidak mempermasalahkan suara Adzan, Tadarus, ataupun dalam menyiarkan syiar-syiar Islam. Sejauh ini kata Nasir Djamil orang Aceh senang dengan hal-hal seperti itu. 

“Suara Adzan merupakan panggilan bagi umat Islam untuk segera beribadah dan tadarus itu juga membangunkan masyarakat untuk segera sahur, jadi di Aceh tidak ada masalah dengan hal-hal seperti itu,” katanya. 

Menurutnya, apa yang dipikirkan oleh Menag terkait SE tersebut tidak dibutuhkan di Aceh. Terkait SE itu bisa saja diterapkan untuk daerah yang Hetrogen atau daerah yang bermacam Agamanya. Menurutnya, itu bisa diberlakukan di kawasan yang dimana daerah tersebut ada agama islam 25 persen, hindu 25 persen, kristen 25 persen, buddha 25 persen.

“Kalau seperti itu bisa saja, namun kalau mayoritas daerah tersebut mayoritas muslim semua SE tersebut bisa saja tidak berlaku. Dan lebih baik itu dikembalikan saja kepada adat istiadat daerah masing-masing, bagaimana aturannya atau pemberlakuannya,” jelasnya.

Oleh karena itu, kata Nasir, kita sangat setuju agar SE tersebut untuk direvisi. “Secara umum kita sangat setuju untuk mengevaluasi dan kemudian menerbitkan satu regulasi dalam bentuk peraturan menteri, tapi tentu harus diingat lain padang lain belalang, lubuk lain laik ikan, hal itu menunjukkan bahwa tidak semua itu bisa disamakan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Nasir Djamil menjelaskan, Jakarta dan Aceh itu beda, Aceh dan Papua itu beda, Padang dan Jakarta. “Setiap daerah itu berbeda-beda jadi tidak bisa disamakan, oleh karena itu hormatilah perbedaan itu,” pungkasnya. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda