kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Sejarawan Aceh Beberkan Empat Undang-undang Pedoman Kerajaan Aceh Dahulu

Sejarawan Aceh Beberkan Empat Undang-undang Pedoman Kerajaan Aceh Dahulu

Kamis, 27 Juli 2023 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

T.A Sakti. [Foto: Ist.]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Kerajaan Aceh adalah kerajaan Islam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 M. Sebelum akhirnya runtuh di awal abad ke-20, Kesultaan Kerajaan Aceh baru menjadi penguasa di tahun 1524 M usai mengambil alih Samudera Pasai.

Kerajaan yang terletak di Kutaraja atau yang lebih dikenal dengan Banda Aceh ini mencapai puncak kejayaannya saat masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

Kerajaan Aceh menganut beberapa undang-undang yang menjadi pedoman masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Dalam hal ini, Sejarawan Aceh, Teuku Abdullah Sakti dengan nama lain T.A. Sakti membeberkan beberapa Undang-undang yang dipakai masyarakat Aceh saat masih menjadi kerajaan.

Dalam hal ini, sebatas informasi yang diketahui, selama ini ada beberapa naskah/buku yang didalamnya terkandung undang-undang Kerajaan Aceh Darussalam.

Yang pertama, Undang-undang Adat Atjeh, ini berisi kajian terhadap peraturan-peraturan produk kesultanan Aceh. Dalam Adat Atjeh berisi kumpulan perundang-undangan Kerajaan Aceh Darussalam yang sebagian isinya dianggap berasal dari era Sultan Iskandar Muda. Kumpulan peraturan itu dapat dibagi dalam 4 (empat) kelompok yang berbeda, yaitu :

(1). Peraturan tentang kekuasaan raja ( majelis), organisasi istana serta syarat-syarat menjadi staf istana.

(2). Riwayat ringkas para sultan yang berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam.

(3). Berbagai jenis upacara dan perayaan yang berlangsung sepanjang tahun di ibukota kerajaan, yang menampilkan kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Aceh Darussalam.  

(4). Berbagai jenis beacukai dan pajak pelabuhan yang dipungut dari kapal-kapal dagang asing yang berniaga ke Aceh. Kesemua pungutan ini disebut “Adat”.

"Sejauh yang kami ketahui, jurnal/buku Adat Atjeh itu sampai kini belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Namun lampiran copy naskah asli huruf Arab Jawi/Jawoe telah ditransliterasikan ke aksara Latin( masih dalam bahasa Melayu lama)," kata T.A. Sakti kepada Dialeksis.com, Kamis (27/7/2023).

Yang kedua, Adat Meukuta Alam, Beberapa peraturan atau perundang-undangan Kerajaan Aceh Darussalam yang dimuat dalam buku ini adalah sebagai berikut:

(1). Peraturan di dalam negeri Aceh Bandar Darussalam disalin daripada daftar Paduka Sri Sultan Mahkota Alam Iskandar Muda.

(2). Peraturan hari besar sultan Aceh memberi karunia dan kehormatan kepada Hulubalang dan rakyatnya. 

(3). Peraturan Panglima Sagi jikalau meninggal atau ahli warisnya dan Hulubalang dalam Sagi atau ahli warisnya dan Hulubalang dalam tanmggungan sultan Aceh Bandar Darusslam. 

(4). Peraturan yang jadi makanan Panglima Sagi dan Hulubalang dalam Sagi atau Hulubalang dalam tanggungan raja yang ada duduk dalam daerah negeri Aceh Besar.

(5). Peraturan Panglima Sagi atau Hulubalang dalam Sagi atau Hulubalang dalam tanggungan raja yang mendapat anak.

"Walaupun diberi judul “Adat Meukuta Alam”, namun kita yang membaca naskah perundang-undangan saja; samasekali tidak menjumpai sebutan Meukuta Alam atau Sultan Iskandar Muda di dalamnya," ujarnya.

Yang ketiga, Tazkirah Thabaqat, Kitab ini merupakan kitab pedoman pemerintahan perdana bagi Kerajaan Aceh Darussalam. Disusun oleh Syekh Abdullah Asyi; seiring dengan pembentukan kerajaan Aceh persatuan pada tahun 913 H/1514 M dengan raja pertamanya Sultan Ali Ibrahim Mughayat Syah. 

Nama perundang-undangan yang dikandung kitab Tazkirah Thabaqat disebut ’Qanun Syarak Kerajaan Aceh Darussalam'.

Naskah ini sudah berkali-kali dilakukan perubahan atau amandemen, agar sesuai dengan perkembangan zaman. Penyesuaian terbesar telah dilakukan pada masa berkuasanya Sultan ‘Alaiddin Mahmud Alqahhar ‘Ali Ri’ayat Syah (942 - 975 H).

Bila dikelompokkan isi Tazkirah Thabaqat terdiri dari beberapa bagian, yaitu :

(1). Nama para sultan Aceh serta masa pemerintahannya.

(2). Pentingnya ilmu pengetahuan bagi semua pemimpin Aceh. 

(3). Qanun Syarak Kerajaan Aceh Darussalam.

(4). Balai atau Lembaga-lembaga pemerintahan Aceh.

(5). Persyaratan pengangkatan bagi para pejabat Kerajaan Aceh Darussalam.

(6). Bagaimana menjadi pemimpin yang adil.

Yang keempat, Qanun Meukuta Alam adalah nama Undang-undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam. Sejak kehadirannya qanun ini telah berkali-kali mengalami perubahan (amandemen) yang dilakukan pemerintahan kerajaan Aceh dengan para sultan yang silih berganti. 

Secara garis besar, naskah ini berisi tentang sumber-sumber qanun baik tentang syari’at Islam, adat maupun resam. Dari sumber-sumber hukum ini dijabarkan kepada syarat-syarat, rukun-rukun, peringatan-peringatan dan anjuran-anjuran untuk terbentuk dan langgengnya sebuah kerajaan.

Begitu pula mengenai figur-figur yang akan tampil menjadi kepala negara, aparat pemerintahan dan rakyat. Jika disimak lebih cermat, meskipun Aceh dalam bentuk kerajaan atau kesultanan, tetapi mempunyai Majelis Mahkamah Rakyat, maka pergantian kepala negaranya tidak terikat sekali kepada tali keturunan dan tidak boleh bertindak dengan sewenang-wenang. 

Selanjutnya, dalam implementasi ini diatur ketentuan-ketentuan tentang lapik, adat, kurnia, hadiah, tadah. Lapik merupakan suatu pemberian berupa oleh-oleh yang telah ditetapkan jumlahnya sesuai dengan jenis barang dan kedudukan pejabat penerima; sebagai imbalan atau penghargaan tentang sesuatu.

Kecuali itu implementasi ini juga menginformasikan macam-macam jenis timbangan, sukatan, takaran dan ukuran kepada kita. Begitu pula menjelaskan berbagai jenis barang ekspor dan impor, berbagai jenis sarana kenderaan alat pelayaran di kala itu. Disebutkan juga berbagai jenis alat pertukaran atau mata uang seperti kupang, tahil,dirham, dinar dan lain-lain. [NH]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda