Senin, 25 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / Sejarawan USK Bongkar Fakta Barus Bukan Titik Nol Islam Nusantara

Sejarawan USK Bongkar Fakta Barus Bukan Titik Nol Islam Nusantara

Senin, 25 Agustus 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Prof. Dr. Husaini, MA, arkeolog dan guru besar sejarah di Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Peresmian Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada 24 Maret 2017 oleh Presiden Joko Widodo masih meninggalkan tanda tanya di kalangan sejarawan, terutama di Aceh.

Bagi sebagian akademisi, penetapan Barus sebagai pintu masuk Islam pertama di Nusantara justru menimbulkan kekeliruan sejarah yang bisa menyesatkan pemahaman generasi mendatang.

Prof. Dr. Husaini, MA, arkeolog dan guru besar sejarah di Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, mengatakan bahwa klaim tersebut tidak sejalan dengan temuan arkeologis maupun rekam jejak historis masuknya Islam ke Asia Tenggara.

“Kalau dikatakan Barus sebagai pusat peradaban Islam di Nusantara, itu fakta yang tidak sesuai dan menyesatkan. Barus memang punya peran penting dalam perdagangan dunia, khususnya komoditas kapur barus sejak abad ke-2 Masehi, tapi tidak bisa disebut sebagai titik awal masuknya Islam,” ujar Prof. Husaini saat ditemui media dialeksis.com di Banda Aceh, Senin (25/8/2025).

Lebih jauh, Prof. Husaini menjelaskan bahwa penetapan Barus sebagai titik nol Islam tidak lepas dari pertimbangan politis.

Menurutnya, Jokowi ingin memberikan ruang bagi berbagai kelompok masyarakat, termasuk organisasi lokal, untuk tetap merasa terhubung dengan sejarah Islam.

“Kalau kita telusuri, ada kepentingan politis dalam rangka menyelamatkan Islam di kawasan itu. Di sana ada Jami’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) yang mendorong penetapan Barus sebagai simbol peradaban Islam. Jadi ini lebih kepada akomodasi politik dan kultural, bukan murni fakta sejarah,” katanya.

Prof. Husaini menambahkan bahwa kondisi masyarakat Barus saat ini sudah banyak berubah. "Barus sekarang banyak dikuasai oleh orang-orang non-Muslim. Bahkan untuk mencari makanan halal pun agak sulit di sana. Padahal dulu Barus adalah kota perdagangan besar dengan jejak Islam yang kuat. Tapi peradaban Islam di Barus lebih terkait dengan interaksi dagang internasional, bukan pusat dakwah atau awal penyebaran Islam di Nusantara,” jelasnya.

Barus memang tercatat sebagai salah satu pelabuhan tertua di Sumatera yang sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Kapur barus atau camphor menjadi komoditas ekspor bernilai tinggi yang diperdagangkan hingga Timur Tengah, India, bahkan ke Eropa.

Namun, menurut Prof. Husaini, interaksi dagang itu tidak bisa otomatis dijadikan bukti bahwa Islam pertama kali masuk melalui Barus.

“Perdagangan dan interaksi dengan bangsa asing di Barus memang sudah berlangsung lama. Tetapi Islam pertama kali berakar, tumbuh, dan berperan besar dalam pembentukan masyarakat adalah di kawasan Aceh, bukan di Barus. Itu dibuktikan dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Samudera Pasai, Perlak dan Lamuri,” tegasnya.

Prof. Husaini mengingatkan bahwa masyarakat harus membedakan antara simbol politik dengan fakta sejarah.

Keputusan Presiden meresmikan Tugu Titik Nol Islam di Barus, menurutnya, bisa dipahami sebagai strategi simbolik untuk menjaga harmoni di wilayah yang plural. Namun, secara akademik, klaim itu tidak bisa diterima begitu saja.

“Simbol boleh saja, tapi jangan sampai publik keliru memahami sejarah. Kalau generasi muda diajarkan bahwa Islam masuk lewat Barus, maka itu mengaburkan peran penting Aceh sebagai gerbang utama Islam di Asia Tenggara,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
17 Augustus - depot
sekwan - polda
bpka